Halo para
bidan dan calon bidan seantero Indonesia, apa jawaban kalian jika ada
pertanyaan seperti itu? Lalu apa jawaban kalian jika ada pertanyaan, apa
bedanya bidan dengan perawat maternitas, dokter, dan dokter SpOG?
Dulu,
saat pertama kali masuk D3 kebidanan saya bisa menjawab dengan teoritis bahwa
bidan begini, perawat begitu, dan dokter begindang. Tapi, makin lama justru
makin bingung karena di lapangan perbedaannya agak nggak jelas. Terutama soal
penatalaksanaan ke pasien. Tatalaksana dokter ngasi obat, eh bidannya juga.
Jadi fungsi bidan sebenarnya sama kayak dokter ato enggak?
Bertahun-tahun
sekolah dan beberapa bulan sempat kerja di salah satu Puskesmas di Situbondo,
akhirnya ada secercah jawaban.
Mahasiswa
bidan mana sih yang nggak tahu kalo sasaran bidan itu adalah wanita dalam semua
siklus kehidupannya yang merupakan makhluk bio-psiko-sosio-kultural-spiritual?
Tapi, sepertinya konsep kebidanan itu hanya lewat aja. Sekedar dihapalin buat
dijawab waktu ujian. Makna sebenarnya tidak benar-benar dipahami dengan baik
(bukan berarti saya udah paham banget).
Beberapa
bulan lalu saya memulai pendidikan profesi bidan dan saat saya menulis ini,
saya sudah memasuki stase terakhir, rotasi terakhir. Udah sebulan lagi bakal
berakhir. Alhamdulillah. Ketika awal-awal saya memulai profesi, konsep mengenai
fungsi bidan itu belum tertanam dengan baik. Hasilnya, saya seringkali bingung
dan kurang komprehensif dalam memberikan asuhan kebidanan. Ingat, asuhan
kebidanan tidak sama dengan asuhan keperawatan terlebih asuhan kedokteran.
Beberapa
bulan berlalu, justru ketika sudah melewati stase fisiologis, di mana kita
mulai dihadapkan dengan kasus patologis tapi harus tetap menonjolkan asuhan
kebidanannya saya mulai menemukan sebuah kebenaran tentang profesi ini (duilee,
lebay amat) Yah intinya saya mulai sedikit paham, siapa sih sebenarnya bidan
itu? Apa sih sebenernya fungsi bidan itu? Terlebih ketika pre conference atau
post conference dengan dosen, makin disadari bahwa bidan itu nggak sekedar
melaksanakan advis dokter, nggak sekedar skrining faktor risiko, nggak sekedar
mengikuti SOP yang ada.
You
know what? Bidan itu harusnya memaksimalkan fungsi fisiologis seseorang.
Semaksimal mungkin. Seringkali kita memberikan asuhan berdasarkan faktor
risiko. Oh, kalo ibu hamil begini risikonya akan begini. Kalo bayi begitu,
risikonya akan begitu. Maka jadilah pasien kita sepanjang kehamilannya was-was
terus. Sepanjang masa nifasnya ketakutan terus. Dan sejenisnya. Kita lupa
memaksimalkan fungsi fisiologisnya. Mendiskusikan mengenai kondisi
psikologisnya, mendiskusikan mengenai bagaimana memperoleh kehamilan yang sehat
fisik dan mental, melibatkan keluarga untuk mendukung kehamilannya, dan
sejenisnya. Kita hanya ingat untuk memberi wejangan yang bejibun tentang, ibu
hamil nggak boleh ini nggak boleh itu. Terlebih, kita lupa bahwa tubuh kita
juga punya mekanisme penyembuhan diri yang tidak melulu harus pakai
medikamentosa. Meski memang pada kasus tertentu, tatalaksana medikamentosa
sangat diperlukan.
Kita,
utamanya mahasiswa bidan, seringkali lupa mempelajari lebih dalam mengenai
fisiologis seorang wanita sesuai siklus kehidupannya. Kita hanya menghapal kasus
patologinya saja dan merasa pintar pun bangga saat berhasil melakukan suatu
tindakan kedokteran patologis. Pandai, mahir dalam tindakan kedokteran
patologis itu tidak salah, bagus malah. Tapi jangan dijadikan standart seorang
bidan. Kita berbeda. Bidan dan dokter memiliki peran masing-masing dan saling
melengkapi.
Ya
intinya begitu deh, hehehe..
Kalau
kalian nggak setuju sama tulisanku, boleh banget kasi pandangan. Yang setuju
juga boleh banget berpendapat.
Semoga
bermanfaat…
Jadi batasan cakupan kerjanya gimana ya Kak?
BalasHapus