Setelah mengantarkan Isa, anak
pertama saya, melewati masa 1000 HPK dengan sangat baik, saya pikir akan begitu
juga dengan anak kedua saya. Segala kemudahan yang Allah berikan selama
membesarkan Isa, saya pikir juga akan dialami anak kedua. Tapi, memangnya ada
hidup yang lurus-lurus aja kayak jalan tol? Di jalan tol saja masih bisa ada
cobaan, misal pengendara lain yang ugal-ugalan atau mobil kita yang tiba-tiba
bermasalah.
Yah, kira-kira begitulah hidup.
Pasti ada saja ujiannya. Maka akhirnya, saya berhadapan dengan masalah
pertumbuhan yang paling saya hindari di anak kedua. Weight faltering atau gagal
tumbuh, ditandai dengan kenaikan berat badan yang kurang dari KBM (Kenaikan
Berat badan Minimal) setiap bulan selama dua bulan berturut-turut.
Berawal dari Maryam, anak kedua
saya, berusia empat bulan. Kenaikan BB-nya saat itu hanya 400 gram yang harusnya
600 gram. Saat itu saya langsung memperbaiki posisi menyusui, memperbaiki
perlekatan, memperhatikan dengan seksama durasi tiap menyusui, mengonsumsi
makan-makanan bergizi, suplemen menyusui, ASI booster, dan tidak lupa untuk
tetap bahagia.
Bulan berikutnya, saat Maryam
berusia lima bulan, kenaikan berat badannya makin mengkhawatirkan. Saat itu,
Maryam hanya naik 300 gram yang harusnya naik 500 gram. Apakah saya panik?
Tentu saja. Rasanya, saya mau langsung bawa anak saya ke dokter anak. Tapi
karena kondisi pandemi, akhirnya saya urungkan. Saya masih akan berusaha memperbaiki
asupannya sebisa mungkin.
“Bulan depan, kalau kenaikan BB
Maryam masih di bawah KBM, Maryam harus dibawa ke dokter anak”. Begitu yang
saya sampaikan ke suami. Alhamdulillah suami setuju.
Di antara usaha untuk memperbaiki
asupan nutrisi Maryam, anak kedua saya itu akhirnya mulai MPASI di usia 5 bulan
3 minggu. Tentunya setelah memenuhi semua tanda kesiapan makan, ya.
Alhamdulillah, permulaan MPASI yang baik. Jauh lebih baik dari kakaknya. Saya
bersyukur sekali. Harapan untuk memperbaiki BB-nya terlihat jelas di depan
mata.
Beberapa minggu berlalu, Maryam
tetap tidak terlihat ‘menggemuk.’ Sampai akhirnya tibalah waktunya menimbang BB
bulanan. Saat itu sudah masuk ke bulan ketujuh. Dan jeng jeng! Ternyata BB
Maryam hanya naik sebanyak 200 gram yang harusnya 400 gram. Apa saya sedih?
Tentu saja! Tapi, nggak ada waktu untuk bersedih. Keesokan harinya, saya
langsung mendaftarkan Maryam ke poli anak Rumah Sakit Umum.
Saat itu kalau tidak salah hari
kamis di bulan November 2021. Setelah menunggu tak terlalu lama, nama Maryam
dipanggil. Karena kondisi pandemi, hanya boleh dua orang yang masuk termasuk
pasien. Maka saya masuk ke ruang pemeriksaan poli anak dengan menggendong
Maryam. Saya jelaskan kondisi Maryam segamblang mungkin. Setelah penjelasan
yang panjang lebar, dokter meminta agar Maryam dibaringkan kemudian diperiksa. Saat
itu, Maryam tak hanya diperiksa kemungkinan adanya tanda infeksi, tapi juga
diperiksa pertumbuhannya. Yaitu panjang badan dan lingkar kepala.
Alhamdulillah, panjang badan dan
lingkar kepala Maryam normal. Pun tidak ditemukan adanya tanda-tanda infeksi.
Maka dokter mulai menyusunkan menu untuk Maryam. Memberi saran soal aturan
makan yang sama persis dengan yang saya ketahui. Lalu, karena Maryam bisa minum
ASIP dengan disendokin, dokter menyarankan untuk memberi ASIP yang dicampur
dengan bubuk khusus untuk meningkatkan kalori ASI. Saat itu, dokter menetapkan
target kenaikan BB untuk Maryam dalam dua pekan adalah 250 gram. Target yang
cukup rendah ya, mengingat bayi usia 6-7 bulan harusnya naik 400 gram sebulan.
Begitu sampai rumah, saya langsung
melaksanakan saran dokter. Mulai dari bubuk khusus itu sampai menu makan Maryam.
Kami, saya dan suami berusaha mematuhi semua saran dari dokter. Sayangnya,
kendala yang datang bukan dari eksternal, melainkan dari internal Maryam
sendiri. Anak saya itu tidak bisa makan banyak. Padahal menurut dokter,
lambungnya cukup besar untuk diisi makanan padat sebanyak 60ml. Tapi, daripada
dia trauma dipaksa makan, saya coba tetap menghargainya saat dia sudah tidak
mau makan lagi.
Ah, iya. Waktu pertama kali saya
periksa ke RS, saya nggak pakai BPJS. Dan ternyata setelah selesai pemeriksaan
dan konsultasi, salah seorang perawat memberitahu saya bahwa kasus Maryam
(weight faltering) bisa konsul ke dokter anak menggunakan BPJS. Alhamdulillah,
senang sekali rasanya. Karena dua minggu kemudian, waktunya Maryam kontrol dan
ternyata target kenaikan BB yang harusnya dicapai Maryam sama sekali tidak
tercapai. Maryam cuma naik 100 gram!
Nangis bombay? Enggaklah. Hehehe.
Saat itu saya sudah siap dengan segala kemungkinan. Termasuk kemungkinan
terburuk.
“Kalau begitu, kita lakukan
screening, ya, Bu?” Begitu kata dokter setelah mengetahui bahwa target kenaikan
BB tidak tercapai dan semua saran dari dokter sudah berusaha kami terapkan.
Nah, screening apa nih yang
dimaksud? Screening kemungkinan adanya infeksi tersembunyi. Pemeriksaan darah,
pemeriksaan urin, dan tes mantoux. Untunglah saat itu kami sudah pakai BPJS.
Kalau enggak, berapa duit ituuuh?
Lalu, gimana hasil dari screening
infeksi tersembunyi?
Hehehe, sabar ya. Akan saya
lanjutkan dalam judul yang berbeda.
Oh iya, ada satu hal yang membuat
saya sedih selama proses konsul kasus Maryam ini. Bukan, bukan soal BB Maryam
yang sulit naik, saya sudah menyiapkan diri untuk itu. Tapi, soal omongan orang
sekitar.
Saya adalah seorang bidan, saya
tahu dasar-dasar teori pertumbuhan anak. Tapi, begitu orang sekitar saya mengetahui
bahwa saya membawa anak saya ke dokter spesialis anak ‘hanya’ karena BB seret,
mereka mencibir.
Awalnya sih sedih, ya. Tapi saya ingat bahwa bukan mereka yang akan dimintai pertanggungjawaban soal anak saya kelak di hadapan Allah. Melainkan saya dan suami. Maka tak peduli apa yang mereka katakan, kami akan mengusahakan yang terbaik untuk anak kami.
Ibu-ibu yang juga mengalami hal
yang sama dengan saya, semangat juga, ya!
To be continue…
Berhadapan dengan Weight Faltering