Senin, 22 Januari 2018

SYUKUR

            Saya keluar dari kamar bersalin sehabis memastikan ruangan sudah bersih, ibu yang habis melahirkan dan bayinya sudah tidak ada keluhan/masalah. Saya menyilakan keluarga yang sedang menunggu di luar untuk masuk, tapi tetap secara bergantian. Lalu, laki-laki yang hari itu akhirnya resmi dipanggil Bapak menghampiri saya. Menyodorkan dua kotak kue lapis kukus. Dari lisannya terucap ‘terimakasih’ yang terdengar tulus. Saya menerimanya dengan tersenyum dan ‘terimakasih’.
            “Mbak, ini dikasi keluarga ibu yang barusan lahiran,” saya memberikan dua kotak roti lapis kukus ke mbak-mbak bidan yang saat itu satu shift dengan saya.
            “Nggak ada yang lain ta, dek? Apa kek gitu? Bosen lapis kukus terus.” Celetuk salah seorang mbak bidan.
            Deg!
            Seketika saya tersentak. Meski bukan sekali ini saya melihat sikap yang sama saat seseorang menerima pemberian orang lain. Belum usai kekagetan saya, seorang lainnya menimpali, “Harusnya di depan pintu ditulis ‘tidak menerima lapis kukus dan brownies *m*nda’.”
Kalimat itu disambut gelak tawa yang lainnya. Entah bercanda entah memang begitu yang mereka inginkan. Sepersekian detik kemudian saya mengatur sikap dan raut muka saya agar terlihat biasa saja. Saya tersenyum dan meletakkan pemberian si Bapak di atas meja. Membiarkannya tergeletak tak tersentuh.
            Mungkin bagi mereka pemberian si Bapak ini terhitung murah. Dengan uang kertas berwarna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai sudah dapat dua kotak. Bisa mereka beli kapan saja mereka mau. Atau, saking seringnya jenis kue itu dijadikan pemberian oleh keluarga pasien. Entah. Tapi, apakah pantas diri untuk tak bersyukur? Minimal mengucapkan terimakasih atas pemberiannya. Bagaimana kalau ucapan yang –menurut saya- menyakitkan itu terdengar oleh si Bapak? Bisa jadi sakit hati, bukan?
***
            Tahun 2016, atas izin Allah orang tua saya berangkat umroh. Sekitar 2-3 hari sebelum berangkat di rumah diadakan syukuran. Keluarga saya menyiapakan cukup banyak makanan untuk jamuan tamu yang diundang. Begitu acara usai ternyata banyak nasi dan lauk pauk yang tersisa padahal sudah dibagi untuk orang-orang yang sukarela membantu. Akhirnya lauk pauk dimasukkan kulkas dan nasi dihangatkan.
            Keesokan paginya, tepat hari Jumat, nasi yang tersisa banyak tadi dibungkus bersama telur bumbu bali dan mie goreng. Sederhana sekali. Jika beli di warung mungkin harganya tak sampai 10 ribu. Kami menyiapkan sekitar 30-40 bungkus. Menjelang sholat Jumat, Bapak, saya, dan adik saya mengangkut nasi bungkus itu ke mobil dan membawanya menuju masjid tempat Bapak saya biasa sholat Jumat. Sepanjang jalan, satu per satu nasi bungkus itu kami bagikan ke tukang becak, tukang sampah, peminta-minta, pokoknya yang sekiranya membutuhkan. Nasi bungkus seharga tak sampai 10 ribu itu disambut suka cita oleh mereka. Dengan wajah berbinar mengucapkan ‘terimakasih’ plus bonus mendoakan kami. Ah, bahagianya! Alhamdulillah…
***
            Begitulah manusia, jika sudah terbiasa mendapat banyak seringkali lupa bersyukur saat mendapat yang sedikit. Sedangkan yang terbiasa mendapat sedikit, teramat besar rasa syukur saat mendapat yang banyak. Alangkah indah jika kita bisa bersyukur baik saat mendapat yang sedikit maupun banyak.
            Mari belajar bersyukur J