Minggu, 20 Maret 2022

Semai Harapan Ibu Profesional Foundation 12

 


Awal tahun 2019, pertama kali saya mengenal secara resmi Ibu Profesional dengan bergabung di kelas matrikulasi batch 7. Beberapa minggu berlalu, saya mulai beradaptasi dengan kawan-kawan baru yang luar biasa. Mengunyah materi yang diberikan dengan semangat, mengerjakan tugas yang juga saya unggah ke blog ini. Namun, saat kelas belum selesai, akhirnya tanda cinta dari bayi yang saya kandung saat itu muncul. Alhamdulillah, Isa lahir di tengah-tengah ibunya sedang belajar.

Drama masa nifas dan menyusui ternyata sangat menguras energi untuk ibu baru macam saya saat itu. Akhirnya sisa kelas matrikulasi IP saya jalani dengan setengah hati dan semangat yang juga setengah-setengah. Alhamdulillah saya tetap berhasil lulus. Tak lama setelahnya, wacana Ibu Profesional New Chapter mulai terdengar. Member lama diminta herregistrasi. Dan tentu saja, saya yang masih beradaptasi dengan peran baru sebagai ibu akhirnya memilih utk menunda herregistrasi.

Tepat 3 tahun setelahnya, saat saya sudah jadi ibu dari 2 anak, barulah saya membulatkan tekad utk ‘melanjutkan’ perjalanan menyemai bahagia di Ibu Profesional. Bergabung dengan Foundation 12.

Maa syaa Allah, Alhamdulillah. Bertemu teman-teman satu penginapan yang super baik, penuh semangat, menyebar positive vibes yang sampai juga ke dalam diri saya, rasanya bahagia sekali. Belum lagi materi-materi padat nutrisi yang menjadi menu makan utama dan kudapan selama kelas berlangsung. Saya jadi kembali menemukan alasan untuk tetap semangat dan bersungguh-sungguh menjalankan peran sebagai ibu. Rasa lelah yang sering melanda usai menjalani kegiatan sehari-hari yang begitu-begitu saja berubah menjadi rasa syukur karena telah diberi kesempatan untuk menjadi madrasah pertama dan utama untuk anak-anak yang Allah titipkan pada saya. Perasaan yang membuncah, yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata.

Ah, ibu. Wanita yang seharusnya dimuliakan ini belakangan justru sering menjadi sasaran hate comment atau hate speech. Direndahkan karna tak berpenghasilan, dianggap tak sempurna hanya karna melahirkan secara SC, hanya karna anak-anak mereka terlihat tak sehebat anak-anak lain, hanya karna tidak pandai memasak, hanya karena tidak pandai beberes rumah, seorang ibu pun kerap kali dianggap tak becus karena meninggalkan anak-anak mereka untuk pergi bekerja, pun tak jarang dihina fisiknya karena tak lagi langsing dan mulus seperti gadis, dan lain-lain.

Maka, Bu… Berbahagialah!

Tidak sulit, kok, menemukan bahagia itu. Apa saja yang membuat kita bahagia, lakukanlah. Kalau saat bangun pagi kita bahagia melihat rumah yang rapi, maka rapikan sebelum tidur. Kalau kita bahagia saat membaca buku, maka lakukanlah saat anak-anak tidur siang. Kalau kita senang belajar, maka ikutlah kelas-kelas dan komunitas semacam IP ini.

Ingatlah, bahwa kebahagiaan itu bergantung pada diri kita sendiri. Bukan orang lain. Bahkan bukan dari pasangan kita sendiri.

Aduh, saya jadi nggak sabar menunggu jenjang selanjutnya dalam IP New Chapter ini. Oh iya, karena saat penjurusan saya memilih institut, saya pun tak sabar untuk segera belajar bersama ibu-ibu lain. Mengarungi Samudra Matrikulasi, Pulau Bunda Sayang, Hutan Kupu-kupu Cekatan, dan seterusnya.

Saya berharap, dengan seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya jam terbang dalam belajar dan bermain di Institut Ibu Profesional, maka bertambah pula kecintaan saya pada peran saya sebagai ibu ini. Pun bertambah pula kemuliaan diri ini dengan perbaikan akhlak dan pola pikir yang terus bertumbuh. Dan juga, dengan semakin bertambahnya sirkel pertemanan positif dalam lingkup regional Ibu Profesional, semoga menjadi wadah pengingat bagi saya agar terus semangat untuk berkembang, berkarya, berbagi, dan berdampak.

Senin, 14 Maret 2022

Berhadapan dengan Weight Faltering

 


Setelah mengantarkan Isa, anak pertama saya, melewati masa 1000 HPK dengan sangat baik, saya pikir akan begitu juga dengan anak kedua saya. Segala kemudahan yang Allah berikan selama membesarkan Isa, saya pikir juga akan dialami anak kedua. Tapi, memangnya ada hidup yang lurus-lurus aja kayak jalan tol? Di jalan tol saja masih bisa ada cobaan, misal pengendara lain yang ugal-ugalan atau mobil kita yang tiba-tiba bermasalah.

Yah, kira-kira begitulah hidup. Pasti ada saja ujiannya. Maka akhirnya, saya berhadapan dengan masalah pertumbuhan yang paling saya hindari di anak kedua. Weight faltering atau gagal tumbuh, ditandai dengan kenaikan berat badan yang kurang dari KBM (Kenaikan Berat badan Minimal) setiap bulan selama dua bulan berturut-turut.

Berawal dari Maryam, anak kedua saya, berusia empat bulan. Kenaikan BB-nya saat itu hanya 400 gram yang harusnya 600 gram. Saat itu saya langsung memperbaiki posisi menyusui, memperbaiki perlekatan, memperhatikan dengan seksama durasi tiap menyusui, mengonsumsi makan-makanan bergizi, suplemen menyusui, ASI booster, dan tidak lupa untuk tetap bahagia.

Bulan berikutnya, saat Maryam berusia lima bulan, kenaikan berat badannya makin mengkhawatirkan. Saat itu, Maryam hanya naik 300 gram yang harusnya naik 500 gram. Apakah saya panik? Tentu saja. Rasanya, saya mau langsung bawa anak saya ke dokter anak. Tapi karena kondisi pandemi, akhirnya saya urungkan. Saya masih akan berusaha memperbaiki asupannya sebisa mungkin.

“Bulan depan, kalau kenaikan BB Maryam masih di bawah KBM, Maryam harus dibawa ke dokter anak”. Begitu yang saya sampaikan ke suami. Alhamdulillah suami setuju.

Di antara usaha untuk memperbaiki asupan nutrisi Maryam, anak kedua saya itu akhirnya mulai MPASI di usia 5 bulan 3 minggu. Tentunya setelah memenuhi semua tanda kesiapan makan, ya. Alhamdulillah, permulaan MPASI yang baik. Jauh lebih baik dari kakaknya. Saya bersyukur sekali. Harapan untuk memperbaiki BB-nya terlihat jelas di depan mata.

Beberapa minggu berlalu, Maryam tetap tidak terlihat ‘menggemuk.’ Sampai akhirnya tibalah waktunya menimbang BB bulanan. Saat itu sudah masuk ke bulan ketujuh. Dan jeng jeng! Ternyata BB Maryam hanya naik sebanyak 200 gram yang harusnya 400 gram. Apa saya sedih? Tentu saja! Tapi, nggak ada waktu untuk bersedih. Keesokan harinya, saya langsung mendaftarkan Maryam ke poli anak Rumah Sakit Umum.

Saat itu kalau tidak salah hari kamis di bulan November 2021. Setelah menunggu tak terlalu lama, nama Maryam dipanggil. Karena kondisi pandemi, hanya boleh dua orang yang masuk termasuk pasien. Maka saya masuk ke ruang pemeriksaan poli anak dengan menggendong Maryam. Saya jelaskan kondisi Maryam segamblang mungkin. Setelah penjelasan yang panjang lebar, dokter meminta agar Maryam dibaringkan kemudian diperiksa. Saat itu, Maryam tak hanya diperiksa kemungkinan adanya tanda infeksi, tapi juga diperiksa pertumbuhannya. Yaitu panjang badan dan lingkar kepala.

Alhamdulillah, panjang badan dan lingkar kepala Maryam normal. Pun tidak ditemukan adanya tanda-tanda infeksi. Maka dokter mulai menyusunkan menu untuk Maryam. Memberi saran soal aturan makan yang sama persis dengan yang saya ketahui. Lalu, karena Maryam bisa minum ASIP dengan disendokin, dokter menyarankan untuk memberi ASIP yang dicampur dengan bubuk khusus untuk meningkatkan kalori ASI. Saat itu, dokter menetapkan target kenaikan BB untuk Maryam dalam dua pekan adalah 250 gram. Target yang cukup rendah ya, mengingat bayi usia 6-7 bulan harusnya naik 400 gram sebulan.

Begitu sampai rumah, saya langsung melaksanakan saran dokter. Mulai dari bubuk khusus itu sampai menu makan Maryam. Kami, saya dan suami berusaha mematuhi semua saran dari dokter. Sayangnya, kendala yang datang bukan dari eksternal, melainkan dari internal Maryam sendiri. Anak saya itu tidak bisa makan banyak. Padahal menurut dokter, lambungnya cukup besar untuk diisi makanan padat sebanyak 60ml. Tapi, daripada dia trauma dipaksa makan, saya coba tetap menghargainya saat dia sudah tidak mau makan lagi.

Ah, iya. Waktu pertama kali saya periksa ke RS, saya nggak pakai BPJS. Dan ternyata setelah selesai pemeriksaan dan konsultasi, salah seorang perawat memberitahu saya bahwa kasus Maryam (weight faltering) bisa konsul ke dokter anak menggunakan BPJS. Alhamdulillah, senang sekali rasanya. Karena dua minggu kemudian, waktunya Maryam kontrol dan ternyata target kenaikan BB yang harusnya dicapai Maryam sama sekali tidak tercapai. Maryam cuma naik 100 gram!

Nangis bombay? Enggaklah. Hehehe. Saat itu saya sudah siap dengan segala kemungkinan. Termasuk kemungkinan terburuk.

“Kalau begitu, kita lakukan screening, ya, Bu?” Begitu kata dokter setelah mengetahui bahwa target kenaikan BB tidak tercapai dan semua saran dari dokter sudah berusaha kami terapkan.

Nah, screening apa nih yang dimaksud? Screening kemungkinan adanya infeksi tersembunyi. Pemeriksaan darah, pemeriksaan urin, dan tes mantoux. Untunglah saat itu kami sudah pakai BPJS. Kalau enggak, berapa duit ituuuh?

Lalu, gimana hasil dari screening infeksi tersembunyi?

Hehehe, sabar ya. Akan saya lanjutkan dalam judul  yang berbeda.

Oh iya, ada satu hal yang membuat saya sedih selama proses konsul kasus Maryam ini. Bukan, bukan soal BB Maryam yang sulit naik, saya sudah menyiapkan diri untuk itu. Tapi, soal omongan orang sekitar.

Saya adalah seorang bidan, saya tahu dasar-dasar teori pertumbuhan anak. Tapi, begitu orang sekitar saya mengetahui bahwa saya membawa anak saya ke dokter spesialis anak ‘hanya’ karena BB seret, mereka mencibir.

Awalnya sih sedih, ya. Tapi saya ingat bahwa bukan mereka yang akan dimintai pertanggungjawaban soal anak saya kelak di hadapan Allah. Melainkan saya dan suami. Maka tak peduli apa yang mereka katakan, kami akan mengusahakan yang terbaik untuk anak kami.

Ibu-ibu yang juga mengalami hal yang sama dengan saya, semangat juga, ya! 

To be continue…