Minggu, 11 Desember 2016

BAGIAN PERTAMA (Beriris-iris Asas Makna)

            Makna dari berkah adalah ats-tsubuut (tetap) dan al-luzuum (terus melekat) (Dr. Nashir ibn ‘Abdirrahman Al-Juda’i dalam At-Tabarruk Anwa’uhu wa Ahkamuhu).

            Lafazh al-barku digunakan untuk menggambarkan sekawanan unta yang menderum setelah minum di dekat wahah (telaga di tengah padang pasir). Dengan demikian berkah adalah menetap dalam ketentraman, seperti unta yang merasakan sejuk meski di sekitar panas bersengatan (Al-Khalil ibn Ahmad dalam bidang ilmu nahwu).

            Makna turunan dari berkah:

-       An-namaa’ (berkembang)

-       Az-ziyaadah (bertambah)

-       As-sa’aadah (kebahagiaan). Kebahagiaan yang berakarkan ketaatan, atas karunia bimbingan Allah dalam melaksanakan apa yang diridhai-Nya

KEBAIKAN DALAM GENGGAMAN ALLAH

            Dalam hal ini dikisahkan dalam kisah Nabi Musa dan perkataan Umar ibn Al-Khattab. Dalam kisah Nabi Musa ketika pergi ke negeri bernama Madyan, Nabi Musa menyingkirkan batu di tepi mata air yang menyebabkan orang-orang yang hendak memberi minum ternak menjadi berdesakan. Dengan sisa tenaga karena berjalan jauh dari negerinya ke Madyan, ia mengangkat batu tersebut hingga mata air menjadi lapang.

Nabi Musa tidak menunggu orang-orang mengucap terima kasih melainkan ia beranjak dan duduk menggeloso di bawah sebuh pohon. Lambungnya lapar, kemudian ia berdoa, “Rabbi innii lima anzalta ilayya min khairin faqiir”. Duhai Pencipta, Pemelihara, Pemberi rizqi, Pengatur urusan, dan Penguasaku; sesungguhnya aku terhadap apa yang Kauturunkan di antara kebaikan amat memerlukan.

Nabi Musa mengajarkan tiga hal penting dalam doanya, yaitu; hanya Allah yang layak disimpuhi kedermawanan-Nya, adab berdoa, dan Allah Maha Mengetahui akan apa yang kita butuhkan. Maka Nabi Musa tidak mengatakan, “Ya Allah, berikan padaku makanan.”

Dalam kalimat ‘Umar ibn Al-Khattab, “Aku tak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan sebab setiap kali Allah mengilhamkan hamba-Nya untuk berdoa, maka Dia sedang berkehendak untuk memberi karunia. Yang aku khawatirkan adalah jika aku tidak berdoa”.

Doa Nabi Yunus ketika di dalam perut ikan pun mengajarkan kita akan kebesaran Allah. Betapa Nabi Yunus tak meminta dikeluarkan dari perut ikan, melainkan ia mengakui sikapnya yang keliru, sikapnya yang berbuat aniaya. Maka Nabi Yunus berdoa kepada Allah yang kemudian diabadikan dalam surat Al-Anbiyaa’ : 87 “Laa ilaaha illaa Anta, subhanaKa, innii kuntu minazhzhaalimiin. Tiada Ilah sesembahan haq selain Engkau. Maha Suci Engkau; sungguh aku termasuk orang yang berbuat aniaya”

Doa Nabi Yunus amat sederhana, tapi Allah menjawab dengan limpahan karunia yang membawa kejayaan. Ia bukan hanya dikeluarkan dari perut ikan, ia bahkan tak perlu payah berenang ke tepian karna ia didamparkan di hamparan tanah yang ditumbuhi tanaman sejenis labu.

Nabi Ibrahim, khalilurrahman¸ pun mengajarkan hubungan kita dengan Allah yang diabadikan dalam surat Asy-Syu’araa : 78 – 82, “Yaitu Rabb yang telah menciptaku, maka Dia memberi petunjuk. Dan Dialah yang memberiku makan dan memberiku minum. Dan apabila aku sakit, maka Dialah yang menyembuhkanku. Dan yang akan mematikanku kemudian menghidupkanku kembali. Dan yang amat aku inginkan untuk mengampuni kesalahanku pada Hari Pembalasan.”

“Yaitu Rabb yang telah menciptaku, maka Dia memberi petunjuk.”



BAGIAN KEDUA (Bertumpuk-tumpuk Bahan Karya)

Seayat Ilmu

“Ar-Rahmaan. Dia mengajarkan Al-Qur’an. Dia mencipta manusia. Dia ajarkan pandai menyampaikan (al-bayaan)” QS. Ar-Rahmaan: 1-4

Nabi SAW bersabda yang dibawakan oleh Imam Ahmad dan At-Tirmidzi: “Terbagi hamba-hamba Allah menjadi 4 golongan. Yang pertama, adalah hamba yang dilimpahi karunia ilmu dan anugerah harta. Lalu dia bertaqwa pada Allah dengan ilmunya dan memperbuat hartanya di jalan kebajikan hingga manfaat tertebar luas. Dialah sebaik-baik hamba. Adapun yang kedua adalah hamba yang dilimpahi karunia ilmu tapi tak dihuluri harta. Lalu dia bertaqwa pada Allah dengan ilmunya dan berbuat sejauh kemampuannya sembari merintihkan doa, ‘Ya Allah, jika Kaulimpahi aku anugerah harta seperti saudaraku si hamba pertama, maka aku akan memperbuatnya di jalan kebajikan sebagaimana dia’. Kedua hamba ini pahalanya sama. Sedangkan yang ketiga adalah hamba yang dilimpahi anugerah harta, tapi tiada karunia ilmu baginya. Maka dia bertaqwa, dan mempergunakan hartanya di jalan sia-sia serta perbuatan dosa. Jadilah dia seburuk-buruk hamba. Terakhir adalah yang keempat, yakni hamba yang tiada baginya limpahan karunia ilmu maupun anugerah harta. Tetapi setiap saat dia menggumamkan harap, ‘Ya Allah, seandainya Kaulimpahi aku anugerah harta seperti temanku si hamba ketiga, maka aku pun akan memperbuat maksiat sebagaimana dia’. Kedua hamba ini, timbangannya sama.

            Di lapis-lapis keberkahan, ilmu adalah pengikat kebajikan. Ketika ilmu akan kebajikan dimiliki oleh seoarang hamba, maka ketidakberpunyaan pun dapat menjadi kebajikan. Sedangkan jika ilmu telah meniada, maka ketidakberpunyaan justru jalan menuju maksiat.

            Syaikh Muhammad Abu Zahrah merumuskan bahwa ilmu lebih baik dibanding harta sebagai berikut:

1.      Ilmu adalah warisan para Rosul, sedangkan harta dilungsurkan pada Fir’aun, Qarun, dan raja-raja.

2.      Ilmu menjaga pemiliknya, sedangkan pemilik harta bersusah-payah menjaga hartanya.

3.      Jika ilmu menguasai harta, maka mulialah keduanya. Sebaliknya jika harta menguasai ilmu, menjadi hinalah keduanya.

4.      Kekayaan akan berkurang jika dibelanjakan, ilmu akan bertamba jika dibagikan.

5.      Ilmu setia menyertai pemiliknya menuju kematian, kebangkitan, dan akhiratnya. Sedangkan harta tak mau ikut, ia tinggal di dunia saja.

6.      Pemilik ilmu terhormat dan diperlukan semua insan. Sedangkan harta hanya berguna dalam kebutuhan pada faqir dan dhu’afa.

7.      Pemilik harta, akan bermunculan musuh jahat dan kawan tak tulus. Sedangkan pemilik ilmu, berarti memperbanyak saudara dan mengurangi seteru.

8.      Pemilik harta hanya digelari yang baik-baik jika memberi. Sedangkan ahli ilmu digelari yang baik-baik sejak belajar, terlebih ketika mengajar.

9.      Ketamakan pada ilmu memuliakan mereka yang masih bodoh maupun cendekia. Sebaliknya tamak terhadap harta menistakan yang masih miskin juga yang sudah kaya.

10.  Pemilik harta akan rumit hisabnya. Pemilik ilmu akan mendapat kemudahan dan syafa’at Nabi.

11.  Kemuliaan pemilik harta ada pada pernak-pernik kekayaan yang terletak di luar dirinya. Sedangkan keluhuran ahli ilmu adalah pengetahuan yang menyatu bersama sosoknya.

12.  Ibadah dan ketaatan pada Allah harus dilakukan dengan ilmu. Tapi banyak kemaksiatan dan mungkar, dapat dilakukan dengan harta.

13.  Agak sukar menemukan kemaksiatan yang ditujukan untuk memperoleh ilmu. Sedangkan bertabur banyaknya dosa yang ditujukan demi mendapatkan harta.

14.  Harta menyergapkan kesedihan sebelum mendapatkannya dan mencekamkan kekhawatiran setelah memperolehnya. Sedangkan ilmu adalah kegembiraan dan keamanan, kapanpun dan di manapun berada.

15.  Mencintai ilmu adalah mata air kebajikan. Mencintai harta adalah sumber keburukan.

16.  Adam diciptakan lalu dibekali ilmu, dan bukannya harta.

17.  Makhluq pertama yang Allah ciptakan adalah pena, wahyu pertama adalah ‘bacalah’, dan mukjizat utama Rasul-Nya adalah kitab-Nya.

18.  Harta hanya bisa mulia dan memmbawa ke surga jika dimakmumkan kepada ilmu. Sedangkan ilmu tak harus disertai harta untuk menjadikan pemiliknya begitu.

19.  Orang berharta dan berilmu yang berinfaq, pahalanya disamakan oleh Nabi SAW dengan orang berilmu miskin yang baru berniat untuk itu.

20.  Pemilik harta mudah dijangkiti kesombongan hingga mengaku tuhan. Sedangkan para pemilik ilmu dikaruniai sifat takut kepada Allah dan rendah hati terhadap semua insan.

“Seorang berilmu belumlah beranjak dari kebodohan atas apa yang diilmuinya, hingga dia mengamalkannya” (Fudhail ibn ‘Iyadh)

‘Abdullah ibn Al-Mubarak menegaskan, “Tiap kali kubaca ayat tentang Ulul Albab di dalam Al-Qur’an, maka nama yang paling terbetik di benak tentang sosok semacam itu adalah Abu Hanifah An-Nu’man”

Siapakah Ulul Albab?

Berikut beberapa ayat yang menyebutkan Ulul Albab:

1.      Ath-Thalaq : 10

2.      Yusuf : 111

3.      Ali Imran : 190-191

4.      Al-Baqarah : 269

5.      Ali Imran : 7

6.      Ibrahim : 52

7.      Al-Maa’idah : 100

8.      Az-Zumaar : 18

9.      Az-Zumaar : 9

10.  Al-Waaqi’ah : 29

Dalam tafsir Ibn Katsir dikatakan bahwa, “Maka Ulul Albab adalah pemilik akal yang sempurna dan bersih, yang memahami hakikat berbagai hal secara nyata dan benar, yang mengambil sikap secara jelas dan terang, serta bertindak secara tepat dan bermanfaat. Mereka mempunyai yang berdzikir dan berpikir, secara terus-menerus lagi mendalam.”

Ulul Albab  adalah pemilik asas-asas kebajikan, yaitu ilmu. Ialah pengetahuan hakiki yang membuat ahlinya kian mendekat kepada Sang Pencipta dan kian mendatangkan manfaat pada sesama.

Sebuah syair yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i menyebutkan tentang syarat meraih ilmu. “Duhai saudaraku, takkan pernah kau mampu meraih ilmu kecuali dengan 6 hal; kecerdasan, semangat, kesungguhan, pengorbanan, membersamai guru, dan panjangnya waktu”

Dan sebuah syair Imam Syafi’i juga menyebutkan tentang keutamaan meninggalkan maksiat agar ilmu Allah merasuk ke dalam hati. “Kuadukan pada Imam Waqi’ tentang buruknya hafalan. Maka dia arahkan aku untuk meninggalkan kemaksiatan. Nasihatnya, sungguh ilmu Allah adalah cahaya. Dan cahaya Allah tak diberikan pada pendurhaka”. Maka dosa adalah pengganggu daya pemahaman. Dan taqwa adalah kunci ketajaman akal. Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 Allah berfirman, “Dan bertaqwalah kepada Allah, dan Allah akan mengajarkan ilmu kepada kalian.”

Salah satu adab dalam meraih ilmu telah disebutkan Atha’ ibn Abi Rabah dan dicontohkan oleh Abu Hanifah. Atha’ ibn Abi Rabah berpendirian, “Kusimak setiap ayat dalam ilmu dari siapapun juga, seakan-akan aku belum pernah mendengarnya. Padahal aku telah menghafalnya, jauh sebelum sang penyampai lahir.”

Abu Hanifah menunjukkan adabanya dalam meraih ilmu ketika sedang bercukur. Betapa sang tukang cukur lebih mengamalkan ilmu daripada Abu Hanifah. Sang tukang cukur tak memungut biaya pada orang-orang yang bercukur (bagian dari manasik) karena hal itu adalah ibadah, ia memulai mencukur dari sebelah kanan, ia menyarankan kepada orang yang dicukur untuk bertakbir dan sholat dua raka’at sebelum beranjak ke kendaraan. Sang tukang cukur mengetahui semua detail manasik tersebut dari Atha’ ibn Abi Rabah.

Maka Atha’ ibn Abi Rabah adalah seorang ‘Alim Rabbani. Ibn Jarir Ath-Thabary merangkum penafsiran ‘Rabbani’ dalam Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Quran, “Rabbani menggambarkan setidaknya lima keadaan pada suatu sosok. Kelimanya: ‘alim, faqih, bashirun bis siyasah (mengerti politik), bashirun bit tadbir (mengerti manajemen), al-qa’im bi syu’unir ra’iyah li yushlihu umura dinihim wa dunyahum (giat menegakkan urusan-urusan kerakyatan untuk memperbaiki perkara agama dan dunia mereka)”

Ilmu juga merupakan penggamit hati. Hal ini telah dicontohkan oleh Habib ibn Surri An-Najjar, Ibn Hajar Al-‘Asqalany, dan Khalid Muslim Az-Zanji. Dari Habib yang dibunuh kaumnya, kita belajar cintalah gamitan qalbu sejati yang dibawa jauh sampai sesudah mati. Dari Ibn Hajar yang membawakan hidayah, kita belajar tentang ilmu mendalam yang disertai ruhani kokoh. Dari Muslim ibn Khalid Az-Zanji, kita belajar kalimat menyengat dan mengubah arah sejarah.

Dalam lapis-lapis keberkahan, orang-orang berilmu akan menghargai perbedaan pendapat. Karena Imam Malik berujar ketika Harun Ar-Rasyid hendak menjadikan kitabnya Al-Muwaththa’ sebagai undang-undang negara, “Wahai Amirul Mukminin, para sahabat Rasulullah bagaikan bintang gemintang di langit. Mereka telah menyebar ke segala penjuru dunia. Ummat di berbagai wilayah telah mengambil pemahaman dari mereka. menggiring rakyatmu pada satu pendapat saja, hanya akan menimbulkan bencana.”

Seperti perbedaan pendapat ‘Abdullah ibn ‘Abbas dan Zaid ibn Tsabit tentang penghitungan waris (al-faraidh). Menurut Ibn ‘Abbas, bagian kakek sama dengan ayah kala dia tiada, dan adanya kakek menghijab hak saudara. Sedangkan menurut Zaid (penulis wahyu kebanggaan orang Anshar) kakek berkedudukan sama dengan saudara.

Namun ketika ada kerabat Ibn ‘Abbas mengalami persoalan waris yang harus diselesaikan dengan memilih pendapatnya atau pendapat Zaid, beliau justru mendatangkan Zaid ibn Tsabit untuk dimintai fatwa dalam menyelesaikannya. Zaid pun datang dan beliau memutuskannya menurut pendapat Ibn ‘Abbas, bukan pendapatnya.

Maka beginilah seharusnya dalam perbedaan pendapat, tidak merasa diri yang paling benar, namun yang paling benar dan solutif bagi permasalahan.



Setitis Rizqi

            Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Bahkan garam yang membuat makanan kita nikmat di lidah adalah rizqi yang melewati perjalanan panjang sebelum sampai ke dapur kita. Imam Al-Ghazali berpesan, “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu, tetapi rizqimu tahu di mana dirimu. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”

Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Allah Yang Mencipta, Menjamin rizqi bagi hamba-Nya. Seperti Allah menjamin rizqi Maryam ketika mengkhidmakan diri di Rumah Allah, seorang ahli ibadah di Mihrab Baitul Maqdis seperti dijelaskan dalam QS. Ali-Imran ayat 37. Terdapat rizqi di sisi Maryam, dan ketika ditanya dari mana datangnya rizqi tersebut? Maryam menjawab, “Ia dari sisi Allah.

Pun ketika Maryam tengah dalam keadaan berat dan sulit. Ketika kandungannya semakin besar dan hampir mencapai waktu melahirkan. Allah menjamin rizqinya dengan memerintahkannya menggoyang pohon kurma agar berguguran buahnya. Hal ini dikisahkan dalam Al-Quran dengan indah dalam QS Maryam ayat 24-25.

Namun, sebanyak apapun rizqi yang diterima oleh seorang hamba bergantung pada rasa saat mendapatkannya. Seperti berbedanya rasa ketika menerima uang 100 juta dalam amplop coklat rapi serta diiring senyum dan uang 100 juta receh yang dibungkus dengan karung dengan bau tak sedap lalu dilemparkan ke hadapan kita dengan caci maki. Betapa berbedanya. Maka di lapis-lapis keberkahan, soal rasa adalah terjaganya kita dari dosa-dosa.

Ketahuilah bahwa setiap kekayaan atau rizqi yang kita miliki, akan dihisab. Maka atas apa yang kita nikmati di dunia, perlulah kita menyiapkan jawaban terbaik untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan di akhirat kelak.

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Takkan sempurna kekayaan sampai kita memahami bahwa sedikitnya harta justru adalah ringannya perhitungan di akhirat sana.” Pun rizqi ini seringkali datangnya tak terduga. Seperti termaktub dalam QS. Ath-Thalaq ayat 2-3: “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangkanya”.

Maka dalam tafsir Ibn Katsir mencatat, “Maknanya, barang siapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dari kebuntuan serta mengaruniakan rizqi dari arah yang tidak terduga-duga, yakni dari arah yang tidak terlintas dalam benaknya.”

Karunia Allah itu datang, dari jalan yang tak disangka-sangka, di tempat yang tak terduga-duga. Setelah mengihsankan amal dan menyempurnakan ikhtiyar, serahkan hal selanjutnya kepada Allah dengan sepenuh iman. Dia lebih tahu di mana tempat terbaik, kapan saat terbaik, dan bagaimana cara terbaik.

Seperti telah dituliskan di awal tadi bahwa rizqi adalah ketetapan. Maka kemudian ada beberapa orang malas yang berkata, “Lalu buat apa bekerja kalau rizqi sudah ditetapkan?”

Maka kalimat ‘Umar ketika menghardik seorang pemuda kuat dan segar badannya yang menggantungkan kebutuhan hidupnya dari pemberian dan belas kasihan orang lain. ‘Umar menghardik keras, “Pergilah! Dan bekerjalah di kebun milik ‘Umar! Sungguh, demi Allah, kau telah membebani manusia dengan berharap-harap kepada mereka. Wahai hamba-hamba Allah, bekerjalah! Karena sesungguhnya anugerah Allah tidaklah diperoleh dengan duduk dan bermalas-malasan disertai berharap-harap pada pemberian sesama insan.”

Justru sebab rizqi kita telah dijaminkan, maka makna kerja kita adalah pengabdian seutuhnya kepada Allah SWT.

“Sesungguhnya Allah cinta kepada hamba yang berkarya dan ‘itqan (tekun-terampil). Barang siapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Ahmad)

Dari segala cara kita menjemput rizqi, maka halal adalah akar prasyarat dari semua kebajikan. ‘Abdullah ibn ‘Umar ra berkata, “Demia Allah, memastikan halalnya satu suapan ke mulutku, lebih aku sukai daripada bershadaqah seribu dinar.”

Nabi SAW begitu tegas dalam hal ini, seperti yang dicontohkan beliau ketika mengeluarkan kurma yang dimakan Hasan ibn ‘Ali. Beliau bersabda, “Tidak tahukah kau, Bocah. Boleh jadi kurma yang kaumasukkan ke mulutmu tadi adalah bagian dari kurma zakat. Dan tahukah kau, Bocah, bahwa keluarga kita dilarang makan apapun dari shadaqah?”

Tentang kehalalan ini juga Rasulullah tegaskan ketika Sa’d ibn Abi Waqqash menyiapkan air wudhu nabi saat ia sedang bertugas menjaga Nabi SAW. Rasulullah bersabda, "Mintalah sesuatu padaku, hai Sa’d, aku akan memohonkannya kepada Allah untukmu.” Sa’d menjawab dengan santun, “Mintakanlah pada Allah, ya Rasulullah, agar doaku mustajab!”

Rasulullah bersabda menjawab pinta Sa’d yang cerdas, “Bantulah aku hai Sa’d, dengan memperbaiki makananmu.” Maka soal makanan halal ini diperintahkan dengan jelas dalam firman Allah QS Mu’minuun ayat 51, Al-Baqarah ayat 168, dan Al-Baqarah ayat 172.

Asupan halal adalah pelembut hati yang paling mula-mula. Imam Ahmad berujar, “Lembutkanlah hati kalian, dengan hanya mengasup makanan yang halal.”

“Hati yang seperti ini,” ujar Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam Ath-Thibbun Nabawi, “akan mudah mengingat Allah, sebab padanya tumbuh khasyah, rasa takut pada-Nya.”

Rasulullah bersabda kepada menantunya ‘Ali ibn Abi Thalib, “Wahai ‘Ali, orang yang mengasup makanan halal, agamanya akan bersih, hatinya akan lembut, dan doanya tidak ada penghalang. Barang siapa yang mengasup makanan syubhat, agamanya menjadi samar-samar dan hatinya menjadi kelam. Dan barang siapa yang mengasup makanan haram, maka hatinya akan mati, agamanya menjadi goyah, keyakinannya melemah, dan ibadahnya semakin berkurang.”



Segerak Amal

            Pada iman di lapis-lapis keberkahan; amal-lah yang membuat kita menjulang, menggapai cakrawala luas, dan mampu memberi naungan dengan rimbun daun-daun. Amal-lah yang dilihat dan berharga di sisi Allah, Rasul-Nya dan para peyakin sejati. Amal-lah yang mengantarkan keyakinan kita menggapai tempat di dekat ‘Arsyi-Nya yang mulia. Amal-lah yang melonjakkan pinta dan doa kita ke haribaan-Nya.

            Berapa banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang ibadah dan selalu dipungkas dengan kalimat “agar kalian bertaqwa”. Maka semua ibadah yang kita persembahkan kepada Rabb semesta alam sejatinya akan kembali kepada kita. Agar kita bertaqwa.

            ‘Umar ibn Al-Khattab bertanya kepada pada guru Al-Quran, ‘Ubay ibn Ka’b. “Terangkan padaku apa itu taqwa?!” Lalu ‘Ubay ibn Ka’b bertanya, “Pernahkah engkau, wahai Amiral Mukminin, melewati jalan yang remang penuh duri?”.

‘Umar menjawab, “Ya”.

            “Maka apa yang engkau lakukan?”

            “Aku berhati-hati.”

            “Demikian itulah taqwa,” pungkas ‘Ubay.

            Dr. ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dalam Ruhaniyatud Da’iyah menyarikan Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, merumuskan daur taqwa ke dalam 5 langkah:

1.      Mu’ahadah (mengingat janji kehambaan)

Dalam QS Al-A’raaf ayat 172 berfirman, “’Bukankah Aku ini Rabb kalian?’ Mereka berkata, ‘Benar, kami bersaksi atas itu’”

Imam Ibn Katsir menafsirkan, “Allah memberitahukan bahwa Dialah yang mencipta dan mengeluarkan anak keturunan Adam dari sulbi para ayahnya, dari kurun ke kurun, dalam keadaan bersaksi atas dirinya sendiri tentang keesaan Allah sebagai Rabb Yang Menguasai mereka dan dengan demikian tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Dia”.

            Maka sungguh asas pertama agar kita mampu menghamba menyambung taqwa adalah terus menjaga ikatan perjanjian dengan Dzat yang telah Mencipta dan Memiliki, Memelihara dan Mengaruniai Rizqi, Mengaur urusan dan Meminta pertanggungjawaban.

2.      Muraqabah (merasakan pengawasan Allah yang senantiasa melekat di setiap saat)

Setelah memahami bahwa diri telah berjanji tak ada pengikat yang lebih kuat agar kita selalu dalam keadaan yang diridhai, selain perasaan bahwa diri ini senantiasa diawasi. Di lapis-lapis keberkahan, muraqabah mengantar kita pada kewaspadaan. Sebab hidup kita adalah ibadah dan kehambaan. Ia kita ihsankan dengan seakan-akan senantiasa melihat-Nya. Jikapun kita tak mampu melihatnya, maka kita yakin bahwa Dia senantiasa melihat kita, tanpa henti dan tanpa jeda.

3.      Muhasabah

Muhasabah diterangkan dalam QS Al-Hasyr ayat 18 kemudian dipungkas ayat ini dengan kalimat “Allah Maha Mengetahui terhadap segala yang kalian kerjakan.”

Bermuhasabah di lapis-lapis keberkahan, akan membuat kita tercengang bahwa amalan kita memang hanyalah setetes air dibanding lautan nikmat-Nya. Akan membuat kita tersentak bahwa dosa-dosa kita lebih menggunung dibanding segala capaian yang membuat diri berbangga. Akan membuat kita tertegun bahwa sungguh yang kita persiapkan untuk akhirat sama sekali belum seberapa.

“Siapa yang menyaksikan pada dirinya ada keadaan lemah, maka dia akan mencapai istiqamah. Maka teruslah bermuhasabah, untuk melihat betapa lemah dan faqirnya dirimu. Dengan begitu, kau akan berada dalam keadaan istiqamah selalu.”

4.      Mu’aqabah

Imam Al-Ghazali mengusulkan Mu’aqabah bagi diri yang gagal dan jiwa yang kalah oleh hawa nafsu. “Diri yang merasa sempuran takkan dapat mengenali jalan menuju kebaikannya. Sebab dia memang tak merasa perlu berbenah. Diri yang bermuhasabah, juga baru terbukti imannya jika dia merasa berbahagia dengan ketaatannya dan merasa berduka atas maksiatnya. Diri yang bermuhasabah juga seyogyanya menghukum pribadinya jika berdosa, sebagai tanda sesal paling nyata, agar kelak Allah mengampuninya. Inilah mu’aqabah.” Demikian tutur beliau.

Bentuk paling baik dari mu’aqabah adalah sebagaimana yang Rasulullah sabdakan pada Abu Dzarr ra: “Bertaqwalah kepada Allah di mana pun kau berada. Susuli setiap keburukan yang terlanjur kaulakukan dengan kebaikan supaya dapat menebusnya. Dan bergaullah pada manusia dengan akhlaq yang mulia” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ad-Darimi)

5.      Mujahadah (kesungguhan untuk mengerahkan segenap yang ada pada diri, demi meraih taqwa hati)

“Dan orang-orang yang bersungguh jihadnya dalam memenuhi perintah Kami, pasti akan Kami tunjukkan padanya jalan-jalan Kami” (QS. Al-‘Ankabuut: 69)

“Amal yang paling baik dan dicintai oleh Allah adalah yang paling sinambung meskipun ia sedikit” (HR. Ahmad & Muslim)

Di lapis-lapis keberkahan, kesungguhan diperlukan untuk mencapai apa-apa yang belum dicapai dari muhasabah dan mu’aqabah. Sebab dengan kesungguhan untuk melakukan apa yang kita mampu, Allah akan menghadiahkan kemampuan untuk melaksanakan hal-hal yang kini belum kita sanggupi.

Di lapis-lapis keberkahan, tak cukup hanya beramal shalih saja, tapi haruslah amal shalih itu diridhai Allah. Tak cukup hanya amal shalih yang diridhai-Nya, tapi mohonlah juga agar Allah menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang shalih.

“Tanda diterimanya amal hamba di sisi Allah adalah ketika satu ketaatan menuntunnya pada ketaatan yang lebih baik lagi. Adapun tanda ditolaknya amal seorang hamba adalah ketika ketaatan disusuli dengan kemaksiatan. Dia tak tercegah darinya. Dan tanda diterimanya taubat seorang hamba adalah jika kekeliruan lalunya tak diulang dan dia terus sibuk berketaatan. Kebaikan sesudah keburukan akan menghapus yang jelek itu. Dan hal yang lebih baik sesudah kebaikan mengantar pada ridha-Nya.” Demikian Imam Ibn Rajab Al-Hanbali menjelaskan.

1 komentar:

  1. ASSALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI CARA SUKSES SAYA NGURUS IJAZAH saya atas nama KUSUMA asal dari jawa timur sedikit saya ingin berbagi cerita masalah pengurusan ijazah saya yang kemarin hilang mulai dari ijazah SD sampai SMA, tapi alhamdulillah untung saja ada salah satu keluarga saya yang bekerja di salah satu dinas kabupaten di wilayah jawa timur dia memberikan petunjuk cara mengurus ijazah saya yang hilang, dia memberikan no hp BPK DR SUTANTO S.H, M.A beliau selaku kepala biro umum di kantor kemendikbud pusat jakarta nomor hp beliau 0823-5240-6469, alhamdulillah beliau betul betul bisa ngurusin masalah ijazah saya, alhamdulillah setelah saya tlp beliau di nomor hp 0823-5240-6469, saya di beri petunjuk untuk mempersiap'kan berkas yang di butuh'kan sama beliau dan hari itu juga saya langsun email berkas'nya dan saya juga langsun selesai'kan ADM'nya 50% dan sisa'nya langsun saya selesai'kan juga setelah ijazah saya sudah ke terima, alhamdulillah proses'nya sangat cepat hanya dalam 1 minggu berkas ijazah saya sudah ke terima.....alhamdulillah terima kasih kpd bpk DR SUTANTO S.H,M.A berkat bantuan bpk lamaran kerja saya sudah di terima, bagi saudara/i yang lagi bermasalah malah ijazah silah'kan hub beliau semoga beliau bisa bantu, dan ternyata juga beliau bisa bantu dengan menu di bawah ini wassalam.....

    1. Beliau bisa membantu anda yang kesulitan :
    – Ingin kuliah tapi gak ada waktu karena terbentur jam kerja
    – Ijazah hilang, rusak, dicuri, kebakaran dan kecelakaan faktor lain, dll.
    – Drop out takut dimarahin ortu
    – IPK jelek, ingin dibagusin
    – Biaya kuliah tinggi tapi ingin cepat kerja
    – Ijazah ditahan perusahaan tetapi ingin pindah ke perusahaan lain
    – Dll.
    2. PRODUK KAMI
    Semua ijazah DIPLOMA (D1,D2,D3) S/D
    SARJANA (S1, S2)..
    Hampir semua perguruan tinggi kami punya
    data basenya.
    UNIVERSITAS TARUMA NEGARA UNIVERSITAS MERCUBUANA
    UNIVERSITAS GAJAH MADA UNIVERSITAS ATMA JAYA
    UNIVERSITAS PANCASILA UNIVERSITAS MOETOPO
    UNIVERSITAS TERBUKA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
    UNIVERSITAS TRISAKTI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
    UNIVERSITAS BUDI LIHUR ASMI
    UNIVERSITAS ILMUKOMPUTER UNIVERSITAS DIPONOGORO
    AKADEMI BAHASA ASING BINA SARANA INFORMATIKA
    UPN VETERAN AKADEMI PARIWISATA INDONESIA
    INSTITUT TEKHNOLOGI SERPONG STIE YPKP
    STIE SUKABUMI YAI
    ISTN STIE PERBANAS
    LIA / TOEFEL STIMIK SWADHARMA
    STIMIK UKRIDA
    UNIVERSITAS NASIONAL UNIVERSITAS JAKARTA
    UNIVERSITAS BUNG KARNO UNIVERSITAS PADJAJARAN
    UNIVERSITAS BOROBUDUR UNIVERSITAS INDONESIA
    UNIVERSITAS MUHAMMADYAH UNIVERSITAS BATAM
    UNIVERSITAS SAHID DLL

    3. DATA YANG DI BUTUHKAN
    Persyaratan untuk ijazah :
    1. Nama
    2. Tempat & tgl lahir
    3. foto ukuran 4 x 6 (bebas, rapi, dan usahakan berjas),semua data discan dan di email ke alamat email bpk sutantokemendikbud@gmail.com
    4. IPK yang di inginkan
    5. universitas yang di inginkan
    6. Jurusan yang di inginkan
    7. Tahun kelulusan yang di inginkan
    8. Nama dan alamat lengkap, serta no. telphone untuk pengiriman dokumen
    9. Di kirim ke alamat email: sutantokemendikbud@gmail.com berkas akan di tindak lanjuti akan setelah pembayaran 50% masuk
    10. Pembayaran lewat Transfer ke Rekening MANDIRI, BNI, BRI,
    11. PENGIRIMAN Dokumen Via JNE
    4. Biaya – Biaya
    • SD = Rp. 1.500.000
    • SMP = Rp. 2.000.000
    • SMA = Rp. 3.000.000
    • D3 = 6.000.000
    • S1 = 7.500.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S2 = 12.000.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S3 / Doktoral Rp. 24.000.000
    (kampus terkenal – wajib ikut kuliah beberapa bulan)
    • D3 Kebidanan / keperawatan Rp. 8.500.000
    (minimal sudah pernah kuliah di jurusan tersebut hingga semester 4)
    • Pindah jurusan/profesi dari Bidan/Perawat ke Dokter. Rp. 32.000.000

    BalasHapus