Selasa, 22 Agustus 2023

Merdeka Tapi Tidak Merdeka

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka memiliki tiga arti berbeda. Yang pertama, bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya. Ini jelas berkaitan dengan arti merdeka yang kita pahami pada setiap perayaan 17 Agustus. Lalu yang kedua, tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Ini memiliki arti yang mirip dengan arti pertama tapi lebih umum. Dan yang terakhir adalah tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, atau leluasa.

Dulu ketika masih kuliah, ada materi kuliah yang berjudul "Woman-centered Care" atau pelayanan yang berfokus pada perempuan. Pada praktik pelayanan ini, seorang bidan harus menganggap perempuan sebagai pribadi yang berdaya dan unik. Setiap pelayanan dan pengambilan keputusan atas tindakan medis harus didasarkan pada kekhususan dan kebutuhan masing-masing perempuan. Dan perempuan memiliki hak sepenuhnya atas dirinya sendiri. Tapi pada praktiknya di lapangan, kami sulit menerapkan ini karena kebanyakan perempuan masih belum merdeka. Mereka tidak leluasa mengemukakan pendapat dan kebutuhannya, sulit untuk tidak terikat pada aturan tak tertulis di masyarakat yang selalu mendahulukan pria di atas perempuan, dan pada keadaan yang lebih ekstrem, sebagian perempuan bahkan sangat bergantung ada pihak tertentu sampai-sampai tidak memiliki hak atas dirinya sendiri.

Tak jarang ada kasus rujukan yang sudah sangat terlambat karena pengambilan keputusan untuk merujuk si ibu bergantung pada keputusan keluarga besar suami. Yang ketika itu keluarga besar tidak setuju untuk merujuk, sehingga bidan harus membujuk sedemikian rupa agar nyawa sang ibu terselamatkan. Tidak sedikit pula seorang perempuan datang seorang diri ke tempat praktik bidan, berbisik takut-takut meminta pil kontrasepsi. Karena suaminya tak mengizinkannya menggunakan alat kontrasepsi untuk mengatur jarak anak sedangkan secara fisik, psikis, bahkan finansial si ibu merasa belum mampu menambah anak lagi. Atau dalam kasus yang lebih menyayat hati, seorang ibu nifas terpaksa dirawat inap karena anemia dan kelelahan. Pasalnya, ia harus tetap terjaga meski mengantuk karena anggapan di masyarakat yang umum menyebutkan bahwa ibu nifas tidak boleh tidur siang. Sampai pada taraf paling bikin nyesek menurut saya adalah si ibu anemia karena kekurangan gizi. Di mana di keluarga suaminya, istri tidak boleh makan lebih dulu dari suami dan jika ada lauk protein hewani, istri hanya boleh makan jika suami sudah makan.

Miris, bukan?

Begitu juga soal hak mendapatkan pendidikan. Banyak perempuan yang belum merdeka untuk ini. Terutama mereka yang sudah menjadi ibu dan istri. Sebagian suami merasa istri mereka cukup mengurus anak dan rumah, enggan memberi ruang dan waktu bagi istri untuk menuntut ilmu dan berkembang. Padahal, istri yang berwawasan luas tentu akan bisa menjadi teman diskusi yang menyenangkan.

Bangsa ini mungkin memang merdeka dari penjajahan dan perbudakan, tapi sebagian masyarakatnya sejatinya masih belum merdeka. Dan salah satunya adalah perempuan. Saya berharap ada semakin banyak orang di luar sana yang menyadari bahwa dalam rumah tangga perempuan itu bukanlah 'orang nomor dua' yang tidak berhak berpendapat, tidak boleh mengembangkan diri, bahkan tidak diberi ruang untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Karena sejatinya, istri adalah pemimpin di rumah suaminya.

Selasa, 15 Agustus 2023

Mendekat ke Hati Lewat Komunikasi

 

Bicara soal perjuangan, kata orang, lima tahun pertama pernikahan adalah yang paling berat. Proses penyesuaian antara dua insan yang memiliki pengalaman dan latar belakang berbeda terkadang membuat penat. Tak jarang ketika terjadi perbedaan pendapat, istri memilih diam dan suami pun malas berdebat. Lalu yang tersisa hanyalah unek-unek yang semakin lama semakin berkarat.

Saya pun demikian, merasa bahwa ada yang tak beres dalam hubungan kami begitu memasuki tahun kelima pernikahan. Menyikapi perbedaan dengan suami tak lagi terasa ringan. Salah paham kerap kali menghiasi obrolan. Hingga akhirnya pada suatu kesempatan, saya sadar bahwa ada yang perlu dibenahi dalam pola komunikasi saya dan pasangan. Hanya saja, saya tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Beruntung, ketika itu saya sedang belajar di kelas Bunda Sayang. Salah satu jenjang perkuliahan di Ibu Profesional untuk ibu dan calon ibu yang ingin berkembang. Salah satu materinya adalah tentang komunikasi produktif, ada tantangan penerapan selama 14 hari agar pemahaman semakin matang.

Dan... beginilah cara saya berjuang.

Mengenali gaya komunikasi saya dan suami

Hal paling pertama yang saya lakukan adalah mengenali gaya komunikasi kami. Perbedaan pengalaman, pengasuhan, dan pengetahuan tentu akan memengaruhi gaya komunikasi. Ketika saya menyadari bahwa gaya komunikasi saya cenderung pasif, agaknya suami justru pasif agresif saat berinteraksi. Ketika saya lebih banyak menghindari konflik, ternyata suami seringkali memendam protes di dalam hati. Maka tak heran jika obrolan kami kerap hanya menggantung tak bertemu solusi.

Menyusun strategi dan memperbaiki diri

Setelah mengenali kawan bicara saya, selanjutnya adalah menyusun strategi. Strategi yang saya gunakan adalah memperbaiki diri, berpedoman pada sebuah quote dari Bu Septi.

For things to change, I must change first

Jika saya ingin mengubah sesuatu, maka saya perlu berubah lebih dulu. Perlahan-lahan, satu persatu, saya coba untuk mengubah cara saya dalam menyampaikan sesuatu. Sambil menyesuaikan dengan apa yang suami mau.

Dan inilah strategi yang menurut saya cukup jitu:

1. Choose the right time

Mencari waktu terbaik. Jika ada konflik, saya akan menunggu sampai suasana hati kami membaik. Lantas menyusun kalimat yang lugas dan apik. Menyampaikan ke pasangan pun dengan cara yang paling baik.

2. Clear and clarified 

Usai pesan tersampaikan, beri waktu untuk proses klarifikasi. Jangan menunda untuk menanyakan pemahaman pasangan dan meluruskan hal-hal yang mungkin salah dipahami.

3. Transfer of feeling

Berbicara dari hati ke hati, menyingkirkan semua distraksi. Gunakan bahasa tubuh agar lebih mudah dimengerti. Karena komunikasi bukan hanya soal komunikasi verbal, tapi juga gerak tubuh dan intonasi.

4. Eye contact

Mempertahankan kontak mata. Terkadang lisan terbatas dalam menyampaikan kata, tapi kontak mata yang lembut dan terbuka mungkin akan menguak apa yang sulit disampaikan dengan bicara.

5. I'm responsible for my communication results

Terakhir, menyadari bahwa saya adalah yang paling bertanggung jawab dengan hasil komunikasi. Bukan menyalahkan suami, apalagi situasi. Ketika pesan saya salah dipahami, mungkin ada cara atau diksi yang perlu diperbaiki.

Hingga hari ini, saya masih berjuang mencari cara terbaik dalam berinteraksi dengan suami. Karena ternyata, yang sulit itu bukan menebak apa maunya istri, tapi menjelejahi isi hati suami. Dan setelah menerapkan hal-hal saya sebutkan tadi, ada beberapa perubahan yang saya sadari. Salah satunya adalah saya bisa lebih terbuka dalam menyampaikan maksud hati, dan imbasnya suami memahami apa yang saya kehendaki.

Ada satu pesan dalam buku Ustadz Fauzil Adhim yang membuat saya semakin menyadari betapa pentingnya komunikasi dengan pasangan. Belakangan ini, gadget seolah menjadi hiburan terbaik usai bekerja seharian. Padahal, di dalam rumah ada anak dan istri yang bisa diajak mengobrol dan melempar candaan. Bercakap-cakap dengan pasangan tak hanya untuk membangun kedekatan, tapi juga ada pahala yang Allah limpahkan.


Referensi:

Adhim, Muhammad Fauzil. (2013). Segenggam Iman Anak Kita. Yogyakarta: Pro-U Media

Mantiri, Hamidah Rina. (2023). Komunikasi Produktif. Materi kuliah Bunda Sayang Batch 8

Minggu, 06 Agustus 2023

Frugal Living, Bukan Cara Cepat Kaya

Frugal living, satu istilah yang belakangan ini banyak menghiasi media sosial. Konten tiktok, reels intagram, sampai artikel di media pun membahas hal ini. Beberapa konten mendefiniskannya dengan bijak dan cukup tepat, namun sebagian lain sekedar menunjukkan bahwa frugal living adalah hidup hemat. Padahal, it's bigger than that!

Mindfullness

Istilah frugal living tidak dapat dipisahkan dengan mindfullness. Kesadaran penuh dalam menggunakan uang dan fokus pada tujuan finansial. Ya, bukan sesederhana berhemat secara brutal sampai terkesan pelit, tapi secara sadar menggunakan uang untuk hal-hal yang benar-benar dibutuhkan. Bukan sekedar keinginan sesaat karena lagi diskon atau ikut-ikutan tren alias FOMO (fear of missing out).

Sebelum mengeluarkan uang untuk membeli barang, seseorang yang menerapkan frugal living akan secara sadar memilih mana barang yang benar-benar dibutuhkan dan mana yang sekedar keinginan semata. Selain sesuai kebutuhan, standar fungsi akan menjadi pertimbangan tertinggi kedua sebelum membeli. Bukan merk apalagi bentuknya yang lucu. Maka biasanya, mereka akan lebih memilih produk lokal yang murah dan berkualitas daripada merk high class dengan kualitas serupa. Akan lebih memilih memasak sendiri di rumah alih-alih menghabiskan uang beberapa kali lipat hanya untuk sekali makan di restoran. Nah, karena pilihan ini, umumnya orang-orang yang menerapkan frugal living akan terlihat 'sederhana'.

Frugal Living meringankan hisab di hari akhir

Setelah membaca beberapa artikel tentang frugal living, saya jadi menyadari bahwa ternyata saya dan suami adalah salah satu praktisinya. Berangkat dari uang bulanan dari orang tua yang pas-pasan saat kuliah dulu, saya belajar untuk memetakan kebutuhan bulanan saya. Dan supaya lebih mudah melakukan evaluasi finansial, saya pun terbiasa mencatat setiap pengeluaran. Sekecil apapun, walau itu hanya uang seribu rupiah untuk beli gorengan.

Lambat laun, gaya hidup ini menjadi kebiasaan. Hingga akhirnya saya menikah dan bertemu dengan orang yang menerapkan gaya hidup serupa. Namun, ada satu alasan yang membuat kami tetap menerapkan frugal living meski keadaan ekonomi membaik. Yaitu, kekhawatiran akan hisab kelak.

Setiap barang yang dibeli, setiap rupiah yang dikeluarkan, kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Untuk apa digunakan? Apakah tersia-sia atau justru amat berguna?

Jadi, setiap kali akan membeli barang, saya (terutama suami) biasanya akan mempertanyakan 'untuk apa?'. Sebelum eksekusi, pertanyaan ini akan membangun diskusi di antara kami. Terutama untuk barang-barang yang cukup mahal. Sekalipun butuh, jika masih bisa ditunda kami akan lebih memilih menunda dan menabung alih-alih memakai uang tabungan yang sudah dialokasikan untuk hal lain.

Terhindar dari hutang


Dengan budgeting, mengeluarkan uang secara sadar, dan tidak FOMO, menerapkan frugal living juga dapat membantu terhindar dari hutang. Percayalah, hidup tanpa hutang itu sungguh menenangkan meski penghasilan tak besar, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan menabung sedikit-sedikit. Ribuan tahun lalu, Rosulullah SAW sudah pernah mengingatkan tentang ini.

"'Jangan kalian meneror diri kalian sendiri, padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman.' Para sahabat bertanya. 'Apakah itu, wahai Rosulullah?' Rosulullah pun menjawab, 'Itulah hutang!'" (HR. Ahmad, Ath-Thabrani dalam Mu'jamul Kabir, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah)

Rosulullah sampai menyebutkan hutang sebagai sebuah teror. Dan betapa dahsyatnya teror hutang ini, bahkan ada doa khusus agar terlepas dari lilitan hutang. Sebuah doa yang Rosulullah ajarkan kepada Abu Umamah untuk dibaca pagi dan sore hari dengan harapan Allah melunasi hutang-hutangnya.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ 

Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan kezalima manusia"

Bagi kami, frugal living bukan hanya sebuah cara untuk mencapai tujuan finansial di dunia apalagi sekedar cara agar cepat kaya. Karena ada banyak sekali kebaikan yang bisa didapat dengan menerapkan hal ini. Dan selayaknya seorang muslim, kebaikan-kebaikan itu kami harap dapat membantu kami hidup bahagia di dunia dan akhirat. Memberatkan timbangan amal kebaikan dan meringankan hisab dari harta yang kami habiskan.

Wallahu a'lam bish-shawab...

Referensi:

Kumok, Zina. (30 April 2020). Frugality: Explanation & Top Frugal Living Tips. Diakses pada 5 Agustus 2023, dari https://www.wealthsimple.com/en-ca/learn/frugal-living#frugality_blogs_worth_following 

Nashrullah, Nashih. (15 November 2022). Doa dan Dzikir Agar Terbebas dari Hutang Sesuai Tuntunan Nabi Muhammad SAW. Diakses pada 5 Agustus 2023, dari https://iqra.republika.co.id/berita/rldfke366/doa-dan-dzikir-agar-bebas-dari-lilitan-utang-sesuai-tuntunan-nabi-muhammad-saw

Purnama, Yulian. (16 Agustus 2021). Hadits-hadits tentang Bahaya Hutang. Diakses pada 5 Agustus 2023, dari https://muslim.or.id/68043-hadits-hadits-tentang-bahaya-hutang.html

Selasa, 01 Agustus 2023

Siapa yang nggak kenal dengan infeksi tuberkulosis atau yang biasa disingkat dengan TBC ini?

Saya yakin, mayoritas kita sudah tahu soal penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis ini. Infeksi TB pada orang dewasa biasanya akan ditandai dengan batuk lama, demam, dan berat badan yang turun drastis. Tapi, infeksi TB pada anak-anak umumnya bahkan tidak bergejala. Hanya saja, berat badan yang sulit naik bisa menjadi alarm adanya infeksi bakteri ini.

Dan inilah yang terjadi pada anak saya. Kisah awal mula saya menyadari adanya weight faltering pada anak kedua saya ini bisa dibaca di sini, ya!

Positif TB!

Setelah melakukan serangkaian screening adanya infeksi tersembunyi, tibalah hari di mana kami harus mendengarkan hasil dari pemeriksaan laboratorium. Sembari menunggu dipanggil masuk ke poli anak, Maryam dirujuk ke poli radiologi untuk foto thorax. Dan tepat ketika nama anak kami dipanggil, hasil foto thorax juga sudah bisa diambil. Jadi semua hasil pemeriksaan sudah lengkap.

Alhamdulillah, dari hasil pemeriksaan urin dan darah semuanya normal. Sayangnya, hasil pemeriksaan tes mantoux dan foto thorax menunjukkan bahwa ada indikasi infeksi TB. Diameter indurasi atau pembengkakan area yang dilakukan tes mantoux sekitar 15 mm di mana 10mm saja sudah dinyatakan positif.

Foto hanya ilustrasi. Foto asli diambil pake hp lama, nggak tahu file-nya di mana
Foto hanya ilustrasi. Foto asli diambil pake hp lama, nggak tahu file-nya di mana

Lalu, dari hasil foto thorax dan pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya pembengkakan kelenjar. Sampe akhirnya ketika ditotal, skor Maryam waktu itu kalau nggak salah adalah 7. Di manan skor 6 saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis TB pada anak.

Ini tabel scoring TB pada anak

Mencari Second Opinion

Lalu, bagaimana perasaan saya ketika anak saya terdiagnosis TB?

Sejujurnya, saya lega. Akhirnya penyebab yang bikin BB anak saya susah naik ternyata infeksi TB. Jadi ke depannya sudah jelas apa yang perlu saya lakukan. Yaitu mengikuti pengobatan TB rutin selama 6 bulan. Saya benar-benar legowo, sama sekali nggak denial. Tapi ternyata, tidak begitu dengan suami saya.

Keesokan harinya, suami saya ngajak periksa ke dokter spesialis anak yang lain. Mencari second opinion. Saya setuju. Ada baiknya memang berkonsultasi tidak hanya pada satu dokter. Tapi saya nggak berharap dokter kedua bakal bilang bahwa si dokter pertama itu salah diagnosis. Saya benar-benar sudah menerima kalau memang anak saya terinfeksi TB. Dan ternyata benar, dokter spesialis anak yang kedua ini memberikan penjelasan dengan lebih detail pada kami bahwa memang anak kami positif TB. Karena itu, si kakak juga harus dilakukan pemeriksaan.

Maka, Isa juga melakukan rangkaian pemeriksaan yang sama dengan adiknya ketika adiknya sudah memulai pengobatan TB. Dan genap dua pekan setelah Maryam terdiagnosis TB, Isa juga dinyatakan positif TB. Bahkan, menurut dokter, sepertinya Isa yang lebih dulu terinfeksi.

Mulai Pengobatan

Saat memulai pengobatan si adik, saya sama sekali nggak menemukan kendala. Karena dosis obat Maryam sedikit dan dia juga masih bayi, nggak bisa banyak berontak, proses meminumkan obat tiap hari nggak terlalu menyulitkan buat saya. Tapi, semua berubah ketika kami harus berusaha meminumkan obat TB pada si kakak.

Saat terinfeksi, usia Isa sekitar 2,5 tahun. Sudah cukup besar untuk memberontak bahkan memuntahkan obatnya. Maka di sinilah ujian kami. Meminumkan obat TB ke Isa itu susahnya luar biasa. Padahal kami sudah pake OAT (obat anti tuberkulosis) khusus anak, ada rasa manisnya. Diminumin pake pipet, dilepeh. Diminumin pake sendok, disembur. Sampai cara yang paling ekstrem yaitu diminumin langsung satu tablet tanpa digerus.

Begini penampakannya. Dapat gratis dari Puskesmas

Alhamdulillah, ternyata dia lebih bisa begitu. Tapi, nggak berhenti sampai di situ. Semakin lama berat badan Isa semakin naik, maka tentu dosis obat juga akan ditingkatkan. Yang awalnya Isa hanya perlu minum 2 tablet, pada sekitar bulan keempat dia sudah harus minum 3 tablet. Makin susah lah proses meminumkan obat ke Isa.

Alhamdulillah, semua proses pengobatan itu sudah terlewati. Dan selama 6 bulan pengobatan, kami nggak bilang ke siapa-siapa. Tapi kami benar-benar membatasi aktivitas anak-anak untuk tidak bermain sembarangan apalagi bepergian. Mencegah terinfeksi atau tertular penyakit lain, karena tanpa sakit pun mereka sudah harus minum OAT. Saya yang nggak sanggup kalau harus ditambah obat lain T.T

Begitulah... setiap keluarga memiliki ujiannya sendiri-sendiri. Keluarga yang terlihat adem ayem, suami istri baik, anak-anak tumbuh sehat bahagia, finansial stabil, belum tentu tidak memiliki ujian. Hanya saja, mungkin mereka pandai menyembunyikannya.

Oh ya, kalau ada yang bertanya kok bisa kena TB? Apa nggak diimunisasi?

Alhamdulillah, anak-anak kami semua diimunisasi lengkap. Jadi perlu diingat, imunisasi tidak 100% mencegah anak tertular penyakit. Namun, imunisasi dapat mencegah sakit berat, cacat, atau kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Lewat tulisan ini, saya juga ingin mengingatkan, jangan pernah menyepelekan BB anak yang susah naik. Meski cuma 2 kali berturut-turut, apalagi sampai 3 kali berturut-turut kayak saya. Segera periksakan ke dokter spesialis anak. Kalau ternyata cuma perlu perbaikan menu makan, alhamdulillah. Tapi kalau ternyata ada infeksi, tentu perlu segera dapat penanganan yang tepat.

Minggu, 20 Maret 2022

Semai Harapan Ibu Profesional Foundation 12

 


Awal tahun 2019, pertama kali saya mengenal secara resmi Ibu Profesional dengan bergabung di kelas matrikulasi batch 7. Beberapa minggu berlalu, saya mulai beradaptasi dengan kawan-kawan baru yang luar biasa. Mengunyah materi yang diberikan dengan semangat, mengerjakan tugas yang juga saya unggah ke blog ini. Namun, saat kelas belum selesai, akhirnya tanda cinta dari bayi yang saya kandung saat itu muncul. Alhamdulillah, Isa lahir di tengah-tengah ibunya sedang belajar.

Drama masa nifas dan menyusui ternyata sangat menguras energi untuk ibu baru macam saya saat itu. Akhirnya sisa kelas matrikulasi IP saya jalani dengan setengah hati dan semangat yang juga setengah-setengah. Alhamdulillah saya tetap berhasil lulus. Tak lama setelahnya, wacana Ibu Profesional New Chapter mulai terdengar. Member lama diminta herregistrasi. Dan tentu saja, saya yang masih beradaptasi dengan peran baru sebagai ibu akhirnya memilih utk menunda herregistrasi.

Tepat 3 tahun setelahnya, saat saya sudah jadi ibu dari 2 anak, barulah saya membulatkan tekad utk ‘melanjutkan’ perjalanan menyemai bahagia di Ibu Profesional. Bergabung dengan Foundation 12.

Maa syaa Allah, Alhamdulillah. Bertemu teman-teman satu penginapan yang super baik, penuh semangat, menyebar positive vibes yang sampai juga ke dalam diri saya, rasanya bahagia sekali. Belum lagi materi-materi padat nutrisi yang menjadi menu makan utama dan kudapan selama kelas berlangsung. Saya jadi kembali menemukan alasan untuk tetap semangat dan bersungguh-sungguh menjalankan peran sebagai ibu. Rasa lelah yang sering melanda usai menjalani kegiatan sehari-hari yang begitu-begitu saja berubah menjadi rasa syukur karena telah diberi kesempatan untuk menjadi madrasah pertama dan utama untuk anak-anak yang Allah titipkan pada saya. Perasaan yang membuncah, yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata.

Ah, ibu. Wanita yang seharusnya dimuliakan ini belakangan justru sering menjadi sasaran hate comment atau hate speech. Direndahkan karna tak berpenghasilan, dianggap tak sempurna hanya karna melahirkan secara SC, hanya karna anak-anak mereka terlihat tak sehebat anak-anak lain, hanya karna tidak pandai memasak, hanya karena tidak pandai beberes rumah, seorang ibu pun kerap kali dianggap tak becus karena meninggalkan anak-anak mereka untuk pergi bekerja, pun tak jarang dihina fisiknya karena tak lagi langsing dan mulus seperti gadis, dan lain-lain.

Maka, Bu… Berbahagialah!

Tidak sulit, kok, menemukan bahagia itu. Apa saja yang membuat kita bahagia, lakukanlah. Kalau saat bangun pagi kita bahagia melihat rumah yang rapi, maka rapikan sebelum tidur. Kalau kita bahagia saat membaca buku, maka lakukanlah saat anak-anak tidur siang. Kalau kita senang belajar, maka ikutlah kelas-kelas dan komunitas semacam IP ini.

Ingatlah, bahwa kebahagiaan itu bergantung pada diri kita sendiri. Bukan orang lain. Bahkan bukan dari pasangan kita sendiri.

Aduh, saya jadi nggak sabar menunggu jenjang selanjutnya dalam IP New Chapter ini. Oh iya, karena saat penjurusan saya memilih institut, saya pun tak sabar untuk segera belajar bersama ibu-ibu lain. Mengarungi Samudra Matrikulasi, Pulau Bunda Sayang, Hutan Kupu-kupu Cekatan, dan seterusnya.

Saya berharap, dengan seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya jam terbang dalam belajar dan bermain di Institut Ibu Profesional, maka bertambah pula kecintaan saya pada peran saya sebagai ibu ini. Pun bertambah pula kemuliaan diri ini dengan perbaikan akhlak dan pola pikir yang terus bertumbuh. Dan juga, dengan semakin bertambahnya sirkel pertemanan positif dalam lingkup regional Ibu Profesional, semoga menjadi wadah pengingat bagi saya agar terus semangat untuk berkembang, berkarya, berbagi, dan berdampak.