Senin, 12 November 2018

A Journey to S.Keb., Bd



            “Kamu nggak daftar D4, Fin?” kata seorang teman empat tahun lalu, persis ketika saya baru menyelesaikan studi D3 kebidanan. Ketika banyak dari tema-teman saya yang memilih melanjutkan studi D4 kebidanan di sebuah kampus swasta di Kediri.
            “Enggak. Mau nyoba daftar S1 di Unair.” Jawab saya.
            “Hah? Mau daftar di Unair? Kamu nggak bakal diterima.” Ucapnya seraya pergi.
            Entah apa yang membuatnya berkata begitu. Mungkin karena memang satu-satunya jenjang S1 bidan + profesi yang menerima dari D3 hanya ada di Unair. Tapi tak apa, karena tahun berikutnya saya buktikan bahwa ucapannya salah.
            Tidak berhenti sampai di situ. Seorang teman yang juga mendaftar tapi tidak lolos menyebar berita ke adik tingkat bahwa saya bisa lolos di unair karena ada ‘duit’nya. Waktu itu rasanya kesal sekali lalu lama-lama nggak peduli meski ada yang bilang begitu lagi. Karena tahun-tahun berikutnya saya buktikan bahwa bahkan saya bisa masuk 10 besar mahasiswa berprestasi jenjang sarjana hingga profesi bidan FK Unair.
            Lalu akan ada yang nyinyir, “Apa gunanya gelar? Buat sombong doang?” Of course not! Bahkan saya tidak terlalu suka menyematkan gelar di belakang nama saya. Bagi saya yang terpenting adalah ilmu dan pengalaman.
            Kalau sekedar melihat hasil akhir, rasanya menyenangkan. Tapi jika dijalani sendiri, akan tahu bagaimana perjuangannya. Terlebih saya yang sedari awal merasa kurang ‘klik’ dengan profesi ini, rasanya tertatih-tatih menyelesaikannya. Saat di jenjang akademik masih belum terasa, karena yaa kegiatannya biasa saja. Seperti kuliah biasa. Begitu masuk jenjang profesi, keteguhan tekad mulai diuji. Jam tidur berantakan, terlebih lagi makan pun sembarangan, tugas yang teruuuuusss menumpuk seolah patah satu tumbuh seribu, belum lagi ujian yang beranak-pinak. Tak jarang jenuh melanda, tapi mau gimana? Nggak bisa kabur. Nggak kayak waktu skripsi, kalau jenuh bisa ditinggal jalan-jalan, kulineran, haha-hihi sama teman. Lah kalo profesi? Boro-boro kulineran, pulang jaga udah kelaperan, jadi apa yang dilewatin udah itu aja yang dibeli buat makan, hehehe.
Menempuh pendidikan di Unair membentuk sebuah konsep pemikiran baru buat saya. Menajamkan kembali filosofi seorang bidan hingga konsep kebidanannya. Bahwa bidan berbeda dengan perawat, berbeda dengan dokter SpOG. Bahwa bidan bukan sekedar menjalankan advis dokter, bukan sekedar mencegah komplikasi dari faktor risiko, bukan sekedar menurunkan AKI dan AKB. Peran bidan lebih jauh dari itu. Kita dibutuhkan tidak hanya di lapangan pekerjaan tapi juga dalam kehidupan sosial. Soal ini, sepertinya sudah pernah saya bahas di sini.
Ah iya, buat yang lagi menjalani profesi, semangat yaaaaaa :D
Segala perjuangan akan terbayar akhirnya J
Now, I’m starting a new journey…

Minggu, 09 September 2018

Wedding on Budget (?)

Alhamdulillah, bulan Syawal ini Allah jawab doa-doa saya dengan sebuah pernikahan indah nan khidmat. Setelah sebuah lamaran di akhir bulan Rajab yang sangat sederhana, akhirnya disepekati 5 Syawal 1438 H sebagai hari diselenggarakan akad nikah sekaligus walimah sederhana kami.

Saya tidak akan menceritakan bagaimana proses kami bertemu, karna kata suami, biarlah itu menjadi kisah kita sendiri, hehehe.

Tulisan ini dibuat gegara saya dan suami melihat sebuah postingan di Instagram tentang sepasang insan yang menikah dengan budget 50 juta lalu jadi viral. Ketika itu suami saya bilang, ‘Lihat, dik. Begini yang jadi viral. Pernikahan kita habis berapa, dik? 15 juta aja nggak nyampe, ya?’ saya mengangguk. Bahkan untuk 3 acara, akad nikah dan segala perintilannya, walimah di rumah saya, dan walimah di rumah suami cuma menghabiskan dana kurang dari 35 juta. Pantas saja kalo pak suami merasa aneh pernikahan dengan budget 50 juta jadi viral, hehe.

Sejak lamaran, kami sudah menyukai kesederhanaan. Dalam tradisi di lingkungan saya, lamaran ini mewah bener. Bawaannya buanyak, makanan yang dihidangkan juga buanyak, yang hadir juga buanyak, dan diceritakan sekaligus dipublish kesana kemari. Maka ketika itu suami berpesan, ‘Saya ingin khitbah ini rahasia. Karena sunnahnya begitu.’ Jadilah acara khitbah atau lamaran kami super simpel. Dari pihak suami memberikan kue-kue sederhana dan secukupnya. Keluarga kami juga menyiapkan makanan secukupnya, tidak terlalu banyak. Begitu pun yang hadir. Tidak banyak, tidak heboh. Menjaga supaya tetap jadi ‘rahasia’ meski tentu tidak bisa sepenuhnya rahasia. Tapi setidaknya kami berusaha tidak cerita kesana kemari. Tidak perlu posting di media sosial juga.

Selama dua bulan persiapan, jangan tanya soal gimana sibuknya nyari WO, cattering, jasa rias pengantin, jasa fotografer, de el el. Saya nggak pake semua itu. Baju pengantin dan perintilannya saya cari sendiri, keluar masuk mall dan butik. Sibuk wara wiri nyari penjahit yang bisa cepat dengan harga terjangkau. Masa-masa pencarian itu ada saksi hidupnya lho, hahaha. Baju akad saya beli gamis putih yang tampak pantas dipakai seorang pengantin dipadukan dengan pashmina putih satin silk dan dihiasi melati. Melati ini permintaan ibu saya. Biar ada bau-bau pengantin katanya, hehe.

Jasa cattering? Nggak pake! Alhamdulillah Allah karuniakan saya keluarga yang kompak. Maka segala kebutuhan jejamuan keluarga suami sampai tamu ditangani oleh Budhe dan Bulek saya. Kami juga nggak nyewa jasa fotografer. Kenapa? Karna kalo nyewa jasa fotografer membuka peluang yang lebih besar untuk kemudian upload foto-foto pernikahan di media sosial. Boro-boro, foto pake hp aja masih gatel ini tangan pengen upload ke medsos, hahaha. Alhamdulillah suami sabar ngingetin. Eh, saya tidak menyalahkan mereka yang mengupload foto pernikahan di medsos. Saya dan suami hanya berusaha menjaga diri saja J

Oh soal jasa rias pengantin? Nggak ada! Saya dandan sendiri, hehehe. Saya bukan orang yang pandai berdandan macam beuty vlogger itu. Perlengkapan make up saya pun standar aja. Tapi saya memberanikan diri dandan sendiri karena mencari jasa rias pengantin yang memperhatikan kaidah syar’i di lingkungan saya itu sulit. Pun ketika itu saya mikirnya, biar hemat aja lah. Bayar rias pengantin 500rb tapi saya maunya make up nya tipis, nggak usah cukur alis, nggak pake bulu mata palsu, kan rugi! Hehehe. Jadilah saya dandan sendiri. Meski 1-2 hari sebelum acara sebagian besar orang mempertanyakan “Beneran nih dandan sendiri?” tapi akhirnya semua bilang ‘cantik’ waktu liat hasil dandanan saya, hehehe. Iya, saya mah maunya gitu. Saya nggak mau keliatan cantik pake make up, saya mau keliatan cantik apa adanya saya. Wkwkwkwk, alesan! Maksudnya biar hemat.

Apalagi? Soal jasa dekor? Nggak ada! Nggak pake! Hehehe. Akad nikah saya di mushollah milik keluarga, para tamu walimah menyaksikan di dalam dan di pelataran mushollah. Walimah di rumah saya hanya mengundang bapak-bapak untuk diberi jejamuan sekaligus menyaksikan prosesi akad kemudian sudah. Ketika proses akad saya di dalam kamar, grogi sambil main hp, hehehe. Ditemenin ibu, adik, dan keluarga lain. Sekitar 2 jam, acara selesai lalu berkas-berkas yang perlu saya tanda tangani dibawa ke kamar tempat saya menunggu. Lalu saya keluar untuk menemui laki-laki yang sudah sah menjadi suami saya ketika para tamu sudah pulang. Trus sedikit foto-foto pake hp pura-pura tanda tangan berkas padahal udah di tanda tanganin, hehehe.

Empat hari sejak acara di rumah saya, digelarlah walimah di rumah suami. Nah acara walimah di rumah suami malah lebih sederhana. Saya dan suami memakai baju sepantasnya, hanya gamis warna mocca kombinasi hitam yang senada dengan kemeja suami. Lalu kami ikut sibuk menyambut tamu. Mempersilakan para tamu makan, ngobrol, lalu melepas para tamu yang berpamitan. Sudah, begitu saja. Tidak ada musik, tidak ada pelaminan, tidak ada kehebohan ini itu, tidak ada. Hanya begitu.

Lalu, ada yang komen “Itu kan acara sekali seumur hidup? Nggak apa lah dihebohin, biar ada kenangannya.” Justru karena sekali seumur hidup jangan sampai bikin kita menyesal karena menghalalkan apa yang diharamkan. Lalu, apakah acara pernikahan kami sempurna sesuai syari’at? Tentu tidak. Tapi kami berusaha sebisa mungkin mengikuti apa yang sudah disyari’atkan. Kalo kata suami, “siapa tau bisa jadi contoh, oh ada loh pernikahan yang seperti itu. Karena sebenarnya kalo mau ngikut syari’at, nikah itu murah.” Semoga bermanfaat J

Senin, 23 April 2018

Jadi, Bidan tuh Siapa?





            Halo para bidan dan calon bidan seantero Indonesia, apa jawaban kalian jika ada pertanyaan seperti itu? Lalu apa jawaban kalian jika ada pertanyaan, apa bedanya bidan dengan perawat maternitas, dokter, dan dokter SpOG?
            Dulu, saat pertama kali masuk D3 kebidanan saya bisa menjawab dengan teoritis bahwa bidan begini, perawat begitu, dan dokter begindang. Tapi, makin lama justru makin bingung karena di lapangan perbedaannya agak nggak jelas. Terutama soal penatalaksanaan ke pasien. Tatalaksana dokter ngasi obat, eh bidannya juga. Jadi fungsi bidan sebenarnya sama kayak dokter ato enggak?
            Bertahun-tahun sekolah dan beberapa bulan sempat kerja di salah satu Puskesmas di Situbondo, akhirnya ada secercah jawaban.

Senin, 22 Januari 2018

SYUKUR

            Saya keluar dari kamar bersalin sehabis memastikan ruangan sudah bersih, ibu yang habis melahirkan dan bayinya sudah tidak ada keluhan/masalah. Saya menyilakan keluarga yang sedang menunggu di luar untuk masuk, tapi tetap secara bergantian. Lalu, laki-laki yang hari itu akhirnya resmi dipanggil Bapak menghampiri saya. Menyodorkan dua kotak kue lapis kukus. Dari lisannya terucap ‘terimakasih’ yang terdengar tulus. Saya menerimanya dengan tersenyum dan ‘terimakasih’.
            “Mbak, ini dikasi keluarga ibu yang barusan lahiran,” saya memberikan dua kotak roti lapis kukus ke mbak-mbak bidan yang saat itu satu shift dengan saya.
            “Nggak ada yang lain ta, dek? Apa kek gitu? Bosen lapis kukus terus.” Celetuk salah seorang mbak bidan.
            Deg!
            Seketika saya tersentak. Meski bukan sekali ini saya melihat sikap yang sama saat seseorang menerima pemberian orang lain. Belum usai kekagetan saya, seorang lainnya menimpali, “Harusnya di depan pintu ditulis ‘tidak menerima lapis kukus dan brownies *m*nda’.”
Kalimat itu disambut gelak tawa yang lainnya. Entah bercanda entah memang begitu yang mereka inginkan. Sepersekian detik kemudian saya mengatur sikap dan raut muka saya agar terlihat biasa saja. Saya tersenyum dan meletakkan pemberian si Bapak di atas meja. Membiarkannya tergeletak tak tersentuh.
            Mungkin bagi mereka pemberian si Bapak ini terhitung murah. Dengan uang kertas berwarna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai sudah dapat dua kotak. Bisa mereka beli kapan saja mereka mau. Atau, saking seringnya jenis kue itu dijadikan pemberian oleh keluarga pasien. Entah. Tapi, apakah pantas diri untuk tak bersyukur? Minimal mengucapkan terimakasih atas pemberiannya. Bagaimana kalau ucapan yang –menurut saya- menyakitkan itu terdengar oleh si Bapak? Bisa jadi sakit hati, bukan?
***
            Tahun 2016, atas izin Allah orang tua saya berangkat umroh. Sekitar 2-3 hari sebelum berangkat di rumah diadakan syukuran. Keluarga saya menyiapakan cukup banyak makanan untuk jamuan tamu yang diundang. Begitu acara usai ternyata banyak nasi dan lauk pauk yang tersisa padahal sudah dibagi untuk orang-orang yang sukarela membantu. Akhirnya lauk pauk dimasukkan kulkas dan nasi dihangatkan.
            Keesokan paginya, tepat hari Jumat, nasi yang tersisa banyak tadi dibungkus bersama telur bumbu bali dan mie goreng. Sederhana sekali. Jika beli di warung mungkin harganya tak sampai 10 ribu. Kami menyiapkan sekitar 30-40 bungkus. Menjelang sholat Jumat, Bapak, saya, dan adik saya mengangkut nasi bungkus itu ke mobil dan membawanya menuju masjid tempat Bapak saya biasa sholat Jumat. Sepanjang jalan, satu per satu nasi bungkus itu kami bagikan ke tukang becak, tukang sampah, peminta-minta, pokoknya yang sekiranya membutuhkan. Nasi bungkus seharga tak sampai 10 ribu itu disambut suka cita oleh mereka. Dengan wajah berbinar mengucapkan ‘terimakasih’ plus bonus mendoakan kami. Ah, bahagianya! Alhamdulillah…
***
            Begitulah manusia, jika sudah terbiasa mendapat banyak seringkali lupa bersyukur saat mendapat yang sedikit. Sedangkan yang terbiasa mendapat sedikit, teramat besar rasa syukur saat mendapat yang banyak. Alangkah indah jika kita bisa bersyukur baik saat mendapat yang sedikit maupun banyak.
            Mari belajar bersyukur J