Saya keluar dari kamar
bersalin sehabis memastikan ruangan sudah bersih, ibu yang habis melahirkan dan
bayinya sudah tidak ada keluhan/masalah. Saya menyilakan keluarga yang sedang
menunggu di luar untuk masuk, tapi tetap secara bergantian. Lalu, laki-laki yang
hari itu akhirnya resmi dipanggil Bapak menghampiri saya. Menyodorkan dua kotak
kue lapis kukus. Dari lisannya terucap ‘terimakasih’ yang terdengar tulus. Saya
menerimanya dengan tersenyum dan ‘terimakasih’.
“Mbak, ini dikasi keluarga ibu yang barusan lahiran,”
saya memberikan dua kotak roti lapis kukus ke mbak-mbak bidan yang saat itu satu
shift dengan saya.
“Nggak ada yang lain ta, dek? Apa kek gitu? Bosen lapis
kukus terus.” Celetuk salah seorang mbak bidan.
Deg!
Seketika saya tersentak. Meski bukan sekali ini saya
melihat sikap yang sama saat seseorang menerima pemberian orang lain. Belum
usai kekagetan saya, seorang lainnya menimpali, “Harusnya di depan pintu ditulis
‘tidak menerima lapis kukus dan brownies *m*nda’.”
Kalimat
itu disambut gelak tawa yang lainnya. Entah bercanda entah memang begitu yang
mereka inginkan. Sepersekian detik kemudian saya mengatur sikap dan raut muka
saya agar terlihat biasa saja. Saya tersenyum dan meletakkan pemberian si Bapak
di atas meja. Membiarkannya tergeletak tak tersentuh.
Mungkin bagi mereka pemberian si Bapak ini terhitung
murah. Dengan uang kertas berwarna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai sudah
dapat dua kotak. Bisa mereka beli kapan saja mereka mau. Atau, saking seringnya
jenis kue itu dijadikan pemberian oleh keluarga pasien. Entah. Tapi, apakah
pantas diri untuk tak bersyukur? Minimal mengucapkan terimakasih atas
pemberiannya. Bagaimana kalau ucapan yang –menurut saya- menyakitkan itu
terdengar oleh si Bapak? Bisa jadi sakit hati, bukan?
***
Tahun 2016, atas izin Allah orang
tua saya berangkat umroh. Sekitar 2-3 hari sebelum berangkat di rumah diadakan
syukuran. Keluarga saya menyiapakan cukup banyak makanan untuk jamuan tamu yang
diundang. Begitu acara usai ternyata banyak nasi dan lauk pauk yang tersisa
padahal sudah dibagi untuk orang-orang yang sukarela membantu. Akhirnya lauk
pauk dimasukkan kulkas dan nasi dihangatkan.
Keesokan paginya, tepat hari Jumat,
nasi yang tersisa banyak tadi dibungkus bersama telur bumbu bali dan mie goreng.
Sederhana sekali. Jika beli di warung mungkin harganya tak sampai 10 ribu. Kami
menyiapkan sekitar 30-40 bungkus. Menjelang sholat Jumat, Bapak, saya, dan adik
saya mengangkut nasi bungkus itu ke mobil dan membawanya menuju masjid tempat
Bapak saya biasa sholat Jumat. Sepanjang jalan, satu per satu nasi bungkus itu
kami bagikan ke tukang becak, tukang sampah, peminta-minta, pokoknya yang
sekiranya membutuhkan. Nasi bungkus seharga tak sampai 10 ribu itu disambut
suka cita oleh mereka. Dengan wajah berbinar mengucapkan ‘terimakasih’ plus
bonus mendoakan kami. Ah, bahagianya! Alhamdulillah…
***
Begitulah manusia, jika sudah
terbiasa mendapat banyak seringkali lupa bersyukur saat mendapat yang sedikit. Sedangkan
yang terbiasa mendapat sedikit, teramat besar rasa syukur saat mendapat yang
banyak. Alangkah indah jika kita bisa bersyukur baik saat mendapat yang sedikit
maupun banyak.
Mari belajar bersyukur J
SYUKUR