Lengket.
Berkeringat. Gerah. Cukup menjadi alasan untukku tetap sabar berdiri mengantre
di sini. Aku masih mengenakan kostum coklat-coklat sementara temanku yang lain
sudah segar sedang merapikan tenda kami. Sebuah gamis hitam terselip di antara
lenganku. Suara ‘byar byur’ air dari dalam kamar mandi menggelitik kesabaranku.
Sedikit
melamun kupandangi titik-titik air mulai turun. Hujan? Aku masih tak percaya.
Lima hari sudah kami di sini, berpartisipasi dalam jambore pondok pesantren alumni
gontor se-indonesia, belum pernah merasakan segarnya air hujan. Yang ada hanya
panas membara dari si kuning perkasa. Bahkan susu yang kami buat setiap pagi
dengan air es bisa memanas karena terkena hawa panas daerah ini. Dan sekarang
hujan?
Aku
sudah lupa tentang mandiku, perhatianku tersita pada jarum-jarum air yang
sepertinya siap merajam tubuhku jika aku nekat menembusnya. Hujannya sangat
deras!
“Fin,
aku sudah selesai.” Seru temanku dari dalam kamar mandi.
Bersamaan
dengan seruan temanku, suara peluit tanda bagi pimpinan regu untuk berkumpul
juga berteriak-teriak.
“Aaaarrrgghh!
Aku belum mandi, nih.” Geramku sebal.
Belum
sempat aku berlari menembus hujan demi menyambut panggilan peluit itu, salah
seorang temanku berlari tergopoh-gopoh. Ia menahan langkahku serta merta.
“Fin,
kayaknya ini badai.” Ia berteriak di telingaku.
“Apa?!
Tolong kamu urus dulu. Aku harus kumpul.” Jawabku sekenanya.
***
Hujan
merajam. Gemuruh angin memekakkan. Aku tercengang melihat keadaan bumi
perkemahan. Ratusan tenda itu hampir seluruhnya roboh! Badanku menggigil, tapi
tak kuhiraukan. Bagaimana nasib teman-temanku?
Subhanallah!
Allahu akbar!
Dari
dua belas tenda (yang artinya dua belas kelompok) di maktab kami, hanya ada
satu tenda yang tetap kokoh berdiri. Itu tenda kami! Di sana, teman-temanku
sedang berjuang menyelamatkan barang-barang.
Aku
berlari menghampiri mereka. Berbekal senter dan cangkul, teman-temanku
menyelamatkan barang-barang kami dan membuat parit agar tak menggenangi bagian
dalam tenda. Aku memeriksa bagian dalam tenda. Seorang temanku sedang
tersungkur bersujud di antara genangan air hujan! Allahu akbar!
“Dia
sudah sholat sejak tadi atau ketika hujan mulai deras?” tanyaku penasaran.
“Dia
sudah sejak tadi, sepertinya sholat isya. Kami belum sholat isya, nih.”
Subhanallah!
Di tengah badai yang menggila seperti ini, ketika semua orang sibuk
menyelamatkan diri dan barang-barangnya, teman-temanku masih ingat untuk
beribadah. Sungguh, aku bangga pada mereka!
“Ayo,
segera kita selesaikan. Supaya kita segera sholat!” aku mengambil peran.
Beserta
empat temanku, kami mengangkat barang-barang kami menggunakan tikar.
“Ah!”
pekik salah seorang temanku.
Oh,
tidak! Tikar yang kami gunakan jebol! Mau tidak mau barang-barang yang jatuh
basah terendam air. Itu artinya, pakaian kami semua basah! Sementara besok ada
kunjungan ke pabrik-pabrik.
***
Matahari
sudah sibuk menebar sinarnya. Badai semalam baru usai sekitar pukul sepuluh.
Aku sudah tak memikirkan baju yang basah. Sepatu yang hilang sebelah. Biarlah,
ini cobaan dari Allah.
“Fin,
cepat ke sekretariat panitia. Ada baju gratis.” Salah seorang temanku sumringah
menyampaikan berita. Di tangannya terselip baju-baju yang mungkin didapatnya
dari sana.
Maha
Suci Allah. Pertolongan-Mu begitu dekat.
Kusapu
pandangan dari auditorium lantai dua ke bumi perkemahan. Menatap lokasi maktab
kami. Hanya satu tenda yang tetap berdiri gagah. Tenda kami! Allahu akbar!
Terakhir diedit; Malang, 04 September 2013
Hasfinda F. Mufid
Terakhir diedit; Malang, 04 September 2013
Hasfinda F. Mufid
Tahiyatul kasaba
BalasHapus