Minggu, 20 Maret 2016

KAMI PRAMUKA, TAPI KAMI TETAP MUSLIMAH



            Lengket. Berkeringat. Gerah. Cukup menjadi alasan untukku tetap sabar berdiri mengantre di sini. Aku masih mengenakan kostum coklat-coklat sementara temanku yang lain sudah segar sedang merapikan tenda kami. Sebuah gamis hitam terselip di antara lenganku. Suara ‘byar byur’ air dari dalam kamar mandi menggelitik kesabaranku.
            “Ah, lama sekali, sih!”
            Sedikit melamun kupandangi titik-titik air mulai turun. Hujan? Aku masih tak percaya. Lima hari sudah kami di sini, berpartisipasi dalam jambore pondok pesantren alumni gontor se-indonesia, belum pernah merasakan segarnya air hujan. Yang ada hanya panas membara dari si kuning perkasa. Bahkan susu yang kami buat setiap pagi dengan air es bisa memanas karena terkena hawa panas daerah ini. Dan sekarang hujan?
            Aku sudah lupa tentang mandiku, perhatianku tersita pada jarum-jarum air yang sepertinya siap merajam tubuhku jika aku nekat menembusnya. Hujannya sangat deras!
            “Fin, aku sudah selesai.” Seru temanku dari dalam kamar mandi.
            Bersamaan dengan seruan temanku, suara peluit tanda bagi pimpinan regu untuk berkumpul juga berteriak-teriak.
            “Aaaarrrgghh! Aku belum mandi, nih.” Geramku sebal.
            Belum sempat aku berlari menembus hujan demi menyambut panggilan peluit itu, salah seorang temanku berlari tergopoh-gopoh. Ia menahan langkahku serta merta.
            “Fin, kayaknya ini badai.” Ia berteriak di telingaku.
            “Apa?! Tolong kamu urus dulu. Aku harus kumpul.” Jawabku sekenanya.
***
            Hujan merajam. Gemuruh angin memekakkan. Aku tercengang melihat keadaan bumi perkemahan. Ratusan tenda itu hampir seluruhnya roboh! Badanku menggigil, tapi tak kuhiraukan. Bagaimana nasib teman-temanku?
            Subhanallah! Allahu akbar!
            Dari dua belas tenda (yang artinya dua belas kelompok) di maktab kami, hanya ada satu tenda yang tetap kokoh berdiri. Itu tenda kami! Di sana, teman-temanku sedang berjuang menyelamatkan barang-barang.
            Aku berlari menghampiri mereka. Berbekal senter dan cangkul, teman-temanku menyelamatkan barang-barang kami dan membuat parit agar tak menggenangi bagian dalam tenda. Aku memeriksa bagian dalam tenda. Seorang temanku sedang tersungkur bersujud di antara genangan air hujan! Allahu akbar!
            “Dia sudah sholat sejak tadi atau ketika hujan mulai deras?” tanyaku penasaran.
            “Dia sudah sejak tadi, sepertinya sholat isya. Kami belum sholat isya, nih.”
            Subhanallah! Di tengah badai yang menggila seperti ini, ketika semua orang sibuk menyelamatkan diri dan barang-barangnya, teman-temanku masih ingat untuk beribadah. Sungguh, aku bangga pada mereka!
            “Ayo, segera kita selesaikan. Supaya kita segera sholat!” aku mengambil peran.
            Beserta empat temanku, kami mengangkat barang-barang kami menggunakan tikar.
            “Ah!” pekik salah seorang temanku.
            Oh, tidak! Tikar yang kami gunakan jebol! Mau tidak mau barang-barang yang jatuh basah terendam air. Itu artinya, pakaian kami semua basah! Sementara besok ada kunjungan ke pabrik-pabrik.
***
            Matahari sudah sibuk menebar sinarnya. Badai semalam baru usai sekitar pukul sepuluh. Aku sudah tak memikirkan baju yang basah. Sepatu yang hilang sebelah. Biarlah, ini cobaan dari Allah.
            “Fin, cepat ke sekretariat panitia. Ada baju gratis.” Salah seorang temanku sumringah menyampaikan berita. Di tangannya terselip baju-baju yang mungkin didapatnya dari sana.
            Maha Suci Allah. Pertolongan-Mu begitu dekat.
            Kusapu pandangan dari auditorium lantai dua ke bumi perkemahan. Menatap lokasi maktab kami. Hanya satu tenda yang tetap berdiri gagah. Tenda kami! Allahu akbar!

Terakhir diedit; Malang, 04 September 2013 
Hasfinda F. Mufid 

1 komentar: