Kemarin,
bertepatan dengan HUT RI Ke-72 saya memutuskan untuk kembali ke tanah rantau.
Sejak 2 hari lalu bawaannya pengen segera balik ke Surabaya. Alasan utamanya
adalah saya pengen hibernasi dulu sebelum segala kesibukan per-profesi-an dimulai
(hahaha). Karena di masa profesi, tidur adalah hal langka. Sebagian besar waktu
bakal dihabiskan di RS, Puskesmas, atau BPM. Kalo pulang pasti digunakan buat
nulis target, ngerjakan laporan, belajar buat ujian, dan sejenisnya. Ada waktu
kosong pasti pengennya dimanfaatkan buat tidur (alesan aja, sih.hehehe).
Eniwey,
kembali ke topik. Jadi, ketika di perjalanan kembali ke Surabaya dari
Probolinggo, saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu muda (sekitar seumuran
saya) yang membawa anak kecil usia sekitar 3-4 tahun. Kebiasaan saya di
perjalanan itu tidur, saya sangat jarang membuka obrolan ketika bepergian naik
bus. Bukan ansos atau sombong, tapi karena saya sering mabuk darat, hehehe. Si
ibu membuka obrolan dengan pertanyaan basa basi, tanya mau ke mana dan asli
mana. Ternyata si Ibu ini juga mau ke Surabaya dan sama-sama dari Situbondo.
Perjalanan sejauh itu, saya perhatikan ibu ini enggak bawa barang apapun
kecuali dompet sama Hp. Wajahnya juga keliatan bingung. Lalu iseng saya tanya,
“Mbak cuma pergi berdua sama anak aja ke Surabaya?” Si ibu mengangguk lesu,
lalu jawaban yang keluar dari mulut ibu muda ini membuat saya kaget dan enggak
habis pikir. “Saya kabur dek. Suami saya sudah ketahuan selingkuh tapi nggak
mau ngaku. Jadi saya kabur aja biar dia tau rasa.”
Akhirnya obrolan
kami jadi ngalor ngidul. Saya jadi tau latar belakang ibu ini, kisah
selingkuhnya si suami, pernikahan yang tidak dia inginkan dan lain-lain tanpa
saya tanya. Ya, begitulah wanita, ia hanya butuh didengarkan.
Sepanjang
jalan sampai saya tiba di kos pertanyaan “Kenapa mesti kabur? Kenapa nggak
diomongin baik-baik sama suami?” terus terngiang-ngiang. Lalu saya teringat
materi sekolah pranikah beberapa waktu lalu. Jadi, manusia itu punya berbagai
cara menghadapi konflik. Dan biasanya tiap orang cenderung menggunakan satu cara
tertentu dalam menghadapi konflik. Kata Pak Thomas dan Pak Kilmann, ada 5 gaya manajemen
konflik; 1) Competing, 2) Collaborating, 3) Compromising, 4) Avoiding, 5) Accommodating.
Nah, si ibu ini nih sepertinya tipe yang avoiding atau menghindar. Gaya manajemen
konflik ini memiliki tingkat keasertifan
dan kerja sama rendah. Orang
dengan gaya ini cenderung akan menghindar atau menari diri dari konflik. Bentuk menghindarnya bisa berupa menjauhkan diri dari
pokok masalah, menunda menyelesaikan
masalah hingga
waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan. Daaaaaan, gaya ini adalah yang paling berbahaya.
Karena biasanya orang dengan gaya ini akan menghindar sambil membawa setumpuk
kemarahan, kekesalan, dan segala emosi negatif lainnya. Dan ginamapun konflik
itu mesti bin harus diselesaikan. Kalo menghindar terus yang ada konfliknya
jadi gunung merapi dan suatu saat bisa meletus :(
Meski begitu, tetap ada positifnya. Yaitu, orang dengan gaya ini bisa
mendinginkan emosi dulu sebelum memulai penyelesaian konflik.
Gaya manajemen konflik yang
paling baik adalah collaborating atau kolaborasi. Gaya ini memiliki tingkat
keasertifan dan kerjasama tinggi. Saat berkolaborasi, seseorang akan berusaha
bekerja sama dengan orang lain dan mencari solusi serta alternatif solusi yang
paling sesuai untuk kedua belah pihak. Kolaboriasi antarpasangan bisa menggali
perhatian dasar dari masing-masing pihak, menggali ketidakcocokan sebagai
wawasan baru untuk dipelajari, menyesuaikan kondisi yang bisa memicu konflik
sehingga konflik dapat dihindari, atau mencoba menemukan solusi kreatif untuk
masalah interpersonal. Karena kolaborasi melibatkan perhatian dan kepentingan
dua orang, gaya ini biasanya memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan
masalah.
Gaya competing atau bersaing ini
memiliki keasertifan tinggi dan kerjasama rendah, berorientasi pada kekuatan. Orang
dengan gaya ini biasanya bersikap tegas dan menggunakan kekuatannya seperti
kekuasaan, keahlian, pangkat, posisi, atau kemampuan persuasif untuk
menyelesaikan masalah. Positifnya bagus digunakan saat situasi mendesak, tapi
jika orang dengan gaya ini bertahan lama bisa mengganggu suatu hubungan. Apalagi
kalau diterapkan terlalu sering dalam hubungan pernikahan.
Lawan dari competing adalah accommodating
atau akomodasi yang memiliki keasertifan rendah tapi kerjasama tinggi. Orang
akomodatif akan mengabaikan kepentingan dan perhatian dirinya, ia akan lebih
mementingkan orang lain. Gaya ini biasanya berbentuk pengorbanan diri, beramal
tanpa pamrih, mematuhi aturan orang lain padahal sejatinya ia tidak
sejutu/ingin, atau menyerah pada sudut pandang orang lain. Positifnya orang
dengan gaya ini adalah orang yang peduli dengan orang lain daripada si masalah,
tapi jika terlalu sering biasanya akan muncul rasa kesal dan sesal karena tidak
bisa menyampaikan pendapat.
Gaya yang terakhir adalah gaya
compromising atau kompromi. Gaya ini berada di tengah-tengah keasertifan dan
kerjasama. Compromising juga berada di tengah-tengah competing dan
accommodating, lebih dari sekedar bersaing tapi kurang akomodatif. Orang dengan
gaya ini akan mencoba menemukan solusi yang bisa memuaskan semua orang dengan
setiap orang diharapkan sumbangsihnya (nah, apa nggak bingung, tuh?). Positifnya
adalah solusi yang timbul dari gaya ini akan menguntungkan kedua belah pihak,
tapi akan memakan banyak waktu karena harus menemukan solusi yang menyenangkan
semua orang. Padahal tiap kepala punya mau yang beda-beda.
Nah, setiap orang pasti punya
gaya manajemen konflik yang berbeda. Pun ini hanya salah satu dari teori
manajemen konflik. Masih banyak teori manajemen konflik yang lain. Kalau ingin
tahu gaya manajemen konflik diri, bisa coba mengisi kuesioner ini. Selamat
mencoba…
Oke, saya cuma memberi prolog
saja. Lebih lengkapnya tentang manajemen konflik ala Pak Thomas dan Pak Kilmann
bisa dilihat di sini, yaa.
Semoga bermanfaat :)
Sumber:
Thomas-Kilmann
Conflict Mode oleh Kenneth Thomas dan Ralph H. Kilmann
Manajemen
Konflik dalam Pernikahan oleh Hafid Algristian, dr., SpKJ
MANAJEMEN KONFLIK