Sabtu, 19 Agustus 2017

MANAJEMEN KONFLIK


             Kemarin, bertepatan dengan HUT RI Ke-72 saya memutuskan untuk kembali ke tanah rantau. Sejak 2 hari lalu bawaannya pengen segera balik ke Surabaya. Alasan utamanya adalah saya pengen hibernasi dulu sebelum segala kesibukan per-profesi-an dimulai (hahaha). Karena di masa profesi, tidur adalah hal langka. Sebagian besar waktu bakal dihabiskan di RS, Puskesmas, atau BPM. Kalo pulang pasti digunakan buat nulis target, ngerjakan laporan, belajar buat ujian, dan sejenisnya. Ada waktu kosong pasti pengennya dimanfaatkan buat tidur (alesan aja, sih.hehehe).

                Eniwey, kembali ke topik. Jadi, ketika di perjalanan kembali ke Surabaya dari Probolinggo, saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu muda (sekitar seumuran saya) yang membawa anak kecil usia sekitar 3-4 tahun. Kebiasaan saya di perjalanan itu tidur, saya sangat jarang membuka obrolan ketika bepergian naik bus. Bukan ansos atau sombong, tapi karena saya sering mabuk darat, hehehe. Si ibu membuka obrolan dengan pertanyaan basa basi, tanya mau ke mana dan asli mana. Ternyata si Ibu ini juga mau ke Surabaya dan sama-sama dari Situbondo. Perjalanan sejauh itu, saya perhatikan ibu ini enggak bawa barang apapun kecuali dompet sama Hp. Wajahnya juga keliatan bingung. Lalu iseng saya tanya, “Mbak cuma pergi berdua sama anak aja ke Surabaya?” Si ibu mengangguk lesu, lalu jawaban yang keluar dari mulut ibu muda ini membuat saya kaget dan enggak habis pikir. “Saya kabur dek. Suami saya sudah ketahuan selingkuh tapi nggak mau ngaku. Jadi saya kabur aja biar dia tau rasa.”
Akhirnya obrolan kami jadi ngalor ngidul. Saya jadi tau latar belakang ibu ini, kisah selingkuhnya si suami, pernikahan yang tidak dia inginkan dan lain-lain tanpa saya tanya. Ya, begitulah wanita, ia hanya butuh didengarkan.
         Sepanjang jalan sampai saya tiba di kos pertanyaan “Kenapa mesti kabur? Kenapa nggak diomongin baik-baik sama suami?” terus terngiang-ngiang. Lalu saya teringat materi sekolah pranikah beberapa waktu lalu. Jadi, manusia itu punya berbagai cara menghadapi konflik. Dan biasanya tiap orang cenderung menggunakan satu cara tertentu dalam menghadapi konflik. Kata Pak Thomas dan Pak Kilmann, ada 5 gaya manajemen konflik; 1) Competing, 2) Collaborating, 3) Compromising, 4) Avoiding, 5) Accommodating. Nah, si ibu ini nih sepertinya tipe yang avoiding atau menghindar. Gaya manajemen konflik ini memiliki tingkat keasertifan dan kerja sama rendah. Orang dengan gaya ini cenderung akan menghindar atau menari diri dari konflik. Bentuk menghindarnya bisa berupa menjauhkan diri dari pokok masalah, menunda menyelesaikan masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan. Daaaaaan, gaya ini adalah yang paling berbahaya. Karena biasanya orang dengan gaya ini akan menghindar sambil membawa setumpuk kemarahan, kekesalan, dan segala emosi negatif lainnya. Dan ginamapun konflik itu mesti bin harus diselesaikan. Kalo menghindar terus yang ada konfliknya jadi gunung merapi dan suatu saat bisa meletus :( Meski begitu, tetap ada positifnya. Yaitu, orang dengan gaya ini bisa mendinginkan emosi dulu sebelum memulai penyelesaian konflik.


                Gaya manajemen konflik yang paling baik adalah collaborating atau kolaborasi. Gaya ini memiliki tingkat keasertifan dan kerjasama tinggi. Saat berkolaborasi, seseorang akan berusaha bekerja sama dengan orang lain dan mencari solusi serta alternatif solusi yang paling sesuai untuk kedua belah pihak. Kolaboriasi antarpasangan bisa menggali perhatian dasar dari masing-masing pihak, menggali ketidakcocokan sebagai wawasan baru untuk dipelajari, menyesuaikan kondisi yang bisa memicu konflik sehingga konflik dapat dihindari, atau mencoba menemukan solusi kreatif untuk masalah interpersonal. Karena kolaborasi melibatkan perhatian dan kepentingan dua orang, gaya ini biasanya memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan masalah.
                Gaya competing atau bersaing ini memiliki keasertifan tinggi dan kerjasama rendah, berorientasi pada kekuatan. Orang dengan gaya ini biasanya bersikap tegas dan menggunakan kekuatannya seperti kekuasaan, keahlian, pangkat, posisi, atau kemampuan persuasif untuk menyelesaikan masalah. Positifnya bagus digunakan saat situasi mendesak, tapi jika orang dengan gaya ini bertahan lama bisa mengganggu suatu hubungan. Apalagi kalau diterapkan terlalu sering dalam hubungan pernikahan.
                Lawan dari competing adalah accommodating atau akomodasi yang memiliki keasertifan rendah tapi kerjasama tinggi. Orang akomodatif akan mengabaikan kepentingan dan perhatian dirinya, ia akan lebih mementingkan orang lain. Gaya ini biasanya berbentuk pengorbanan diri, beramal tanpa pamrih, mematuhi aturan orang lain padahal sejatinya ia tidak sejutu/ingin, atau menyerah pada sudut pandang orang lain. Positifnya orang dengan gaya ini adalah orang yang peduli dengan orang lain daripada si masalah, tapi jika terlalu sering biasanya akan muncul rasa kesal dan sesal karena tidak bisa menyampaikan pendapat.
                Gaya yang terakhir adalah gaya compromising atau kompromi. Gaya ini berada di tengah-tengah keasertifan dan kerjasama. Compromising juga berada di tengah-tengah competing dan accommodating, lebih dari sekedar bersaing tapi kurang akomodatif. Orang dengan gaya ini akan mencoba menemukan solusi yang bisa memuaskan semua orang dengan setiap orang diharapkan sumbangsihnya (nah, apa nggak bingung, tuh?). Positifnya adalah solusi yang timbul dari gaya ini akan menguntungkan kedua belah pihak, tapi akan memakan banyak waktu karena harus menemukan solusi yang menyenangkan semua orang. Padahal tiap kepala punya mau yang beda-beda.
                Nah, setiap orang pasti punya gaya manajemen konflik yang berbeda. Pun ini hanya salah satu dari teori manajemen konflik. Masih banyak teori manajemen konflik yang lain. Kalau ingin tahu gaya manajemen konflik diri, bisa coba mengisi kuesioner ini. Selamat mencoba…
                Oke, saya cuma memberi prolog saja. Lebih lengkapnya tentang manajemen konflik ala Pak Thomas dan Pak Kilmann bisa dilihat di sini, yaa.
                Semoga bermanfaat :)

Sumber:
Thomas-Kilmann Conflict Mode oleh Kenneth Thomas dan Ralph H. Kilmann
Manajemen Konflik dalam Pernikahan oleh Hafid Algristian, dr., SpKJ

0 komentar:

Posting Komentar