Sabtu, 30 September 2017



Janji Sarjana Kebidanan Sebelum Memasuki Pendidikan Profesi

           
3 Agustus 2017, akhirnya diresmikan dapet gelar S.Keb (Sarjana Kebidanan)!
          Menjadi bidan bukan perkara mudah. Memutuskan untuk mencintai profesi ini, bagi saya butuh bertahun-tahun (sampai sekarang masih berusaha). Jika sebagian besar mereka yang memilih profesi ini atas dasar kehendak sendiri, berbeda dengan saya (dan beberapa teman yang senasib, hehe). Tahun pertama sekolah kebidanan saya hampir mengikuti tes SNMPTN lagi, saking enggak-suka-nya sekolah bidan. Tahun kedua, saya makin gak suka, sampe curhat ke dosen. Dan di tahun itu saya tahu kenapa saya gak suka. Eits, tapi rahasia, yaa…
            Lulus sekolah D3 kebidanan, saya minta izin ke orang tua untuk gak kerja jadi bidan. Tapi, dari sekian lamaran yang saya layangkan ke beberapa instansi, panggilan pertama dari sebuah Puskesmas di daerah kelahiran saya. Selang dua bulan dari wisuda, saya sudah resmi bekerja di Puskesmas tersebut. Tapi dasar gak suka jadi bidan, maka saya gak terlalu fokus di pelayanan. Saya malah enjoy di manajemen dan beberapa program pemerintah.
            Beberapa bulan bekerja, saya mulai kerasan. Tiba-tiba orang tua menawarkan untuk lanjut sekolah di unair. Sebenarnya ketika itu agak ragu, mengingat banyaknya pendaftar dan sedikitnya kuota. Setelah mempertimbangkan banyak hal, termasuk pertimbangan ‘mumpung orang tua masih sanggup ngebiayain’, maka saya membulatkan tekad untuk lanjut. Waktu itu juga terdorong karena pernah diremehkan sama salah seorang teman, dia mengatakan dengan keyakinan penuh bahwa saya gak akan bisa diterima S1 Kebidanan unair (jahat, kan? T.T).
            Singkat cerita, Mei 2015 keluarlah pengumuman bahwa saya diterima di S1 Pendidikan Bidan Unair. Ya, baru S1. Sementara teman-teman seangkatan saya sudah kerja atau lagi lanjut sekolah magister. Ternyata ada teman di unair juga yang punya perasaan sama seperti saya. Kami, mahasiswa kesehatan seringkali dikepung perasaan ‘temen-temen udah bisa cari duit sendiri eh aku masih aja sekolah’ atau ‘enaknya yang baru lulus langsung dapet kerja sementara kita perlu magang atau internship dulu’. Ya semacam itu, selain karena sekolahnya yang lama juga karena kebijakannya yang cepat sekali berubah T.T
            Momen wisuda yang sangat bersejarah buat para mahasiswa datang juga. Hari Sabtu tanggal 9 September sebagian angkatan saya diwisuda, ya hanya sebagian. Sebagian yang lain masih terkendala skripsi atau syarat lainnya. Tapi, jangan dikira kami bahagia, justru kami meringis karena lusa sudah terjun ke dunia profesi. Fase terberat dalam pendidikan menjadi seorang tenaga kesehatan. Di fase ini kami benar-benar diuji. Siapa yang bertekad bulat dan siapa yang sekolah hanya iseng saja. Di fase ini, semuanya terasa lebih berat…
            “Aku gak kuat. Pengen keluar aja”
            “Haduh, kelompokku kok gini sih, gak kuaat!”
            “Baru juga seminggu, kok rasanya berat banget ya?”
            “Masih sisa beberapa bulan, apa aku sanggup ya?”
            “Belum ada sebulan, hidupku sudah kacau!”
            Beberapa curhatan di atas sering tercetus selama beberapa hari kami menjalani profesi. Baru beberapa hari! Padahal masih ada ratusan hari, puluhan minggu, dan beberapa bulan ke depan. Ini masih stase pertama, tempat pertama. Belum stase berat dan rumit seperti maternal neonatal patologi dan ginekologi. Belum tempat yang punya segudang masalah kompleks seperti RSUD Dr Soetomo. Semuanya sudah terasa amat berat!
            Fase adaptasi itu memang yang paling berat. Stase 1 ini rasanya memang seperti roller coaster yang penumpangnya harus memakai penutup mata. Kita tidak pernah tahu rintangan apa yang ada di depan kita, menanjak atau menukik? Kita tidak tahu. Kita hanya perlu menyiapkan diri dan menghadapi rintangan apapun yang menghadang. Begitu juga hidup, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok, kita hanya perlu menyiapkan diri dan hadapi saja apapun yang terjadi!
            Ah ya, satu lagi. Kehidupan profesi ini mengajarkan kami tentang arti move on sebenarnya. Dua-tiga minggu sekali kami harus berpindah tempat. Bisa dibayangkan, dalam dua minggu pasti kami baru saja mulai menikmati lingkungan baru atau baru saja melewati fase adaptasi atau baru saja bisa akrab dengan para senior tapi kami harus rela mengulang lagi proses adaptasi dari awal karena harus berpindah tempat. Maka, move on adalah kemampuan yang wajib dikuasai oleh setiap mahasiswa profesi. Kalau enggak, bisa jadi ketika sudah pindah tempat eh kenangan tentang mantan (baca: RS/Puskesmas sebelumnya) masih berseliweran dan malah bikin nggak kerasan di tempat baru.
            So, keep moving on!

            Surabaya, 30 September 2017
            Hari terakhir stase pertama rotasi pertama


0 komentar:

Posting Komentar