Selasa, 22 Agustus 2023

Merdeka Tapi Tidak Merdeka

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka memiliki tiga arti berbeda. Yang pertama, bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya. Ini jelas berkaitan dengan arti merdeka yang kita pahami pada setiap perayaan 17 Agustus. Lalu yang kedua, tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Ini memiliki arti yang mirip dengan arti pertama tapi lebih umum. Dan yang terakhir adalah tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, atau leluasa.

Dulu ketika masih kuliah, ada materi kuliah yang berjudul "Woman-centered Care" atau pelayanan yang berfokus pada perempuan. Pada praktik pelayanan ini, seorang bidan harus menganggap perempuan sebagai pribadi yang berdaya dan unik. Setiap pelayanan dan pengambilan keputusan atas tindakan medis harus didasarkan pada kekhususan dan kebutuhan masing-masing perempuan. Dan perempuan memiliki hak sepenuhnya atas dirinya sendiri. Tapi pada praktiknya di lapangan, kami sulit menerapkan ini karena kebanyakan perempuan masih belum merdeka. Mereka tidak leluasa mengemukakan pendapat dan kebutuhannya, sulit untuk tidak terikat pada aturan tak tertulis di masyarakat yang selalu mendahulukan pria di atas perempuan, dan pada keadaan yang lebih ekstrem, sebagian perempuan bahkan sangat bergantung ada pihak tertentu sampai-sampai tidak memiliki hak atas dirinya sendiri.

Tak jarang ada kasus rujukan yang sudah sangat terlambat karena pengambilan keputusan untuk merujuk si ibu bergantung pada keputusan keluarga besar suami. Yang ketika itu keluarga besar tidak setuju untuk merujuk, sehingga bidan harus membujuk sedemikian rupa agar nyawa sang ibu terselamatkan. Tidak sedikit pula seorang perempuan datang seorang diri ke tempat praktik bidan, berbisik takut-takut meminta pil kontrasepsi. Karena suaminya tak mengizinkannya menggunakan alat kontrasepsi untuk mengatur jarak anak sedangkan secara fisik, psikis, bahkan finansial si ibu merasa belum mampu menambah anak lagi. Atau dalam kasus yang lebih menyayat hati, seorang ibu nifas terpaksa dirawat inap karena anemia dan kelelahan. Pasalnya, ia harus tetap terjaga meski mengantuk karena anggapan di masyarakat yang umum menyebutkan bahwa ibu nifas tidak boleh tidur siang. Sampai pada taraf paling bikin nyesek menurut saya adalah si ibu anemia karena kekurangan gizi. Di mana di keluarga suaminya, istri tidak boleh makan lebih dulu dari suami dan jika ada lauk protein hewani, istri hanya boleh makan jika suami sudah makan.

Miris, bukan?

Begitu juga soal hak mendapatkan pendidikan. Banyak perempuan yang belum merdeka untuk ini. Terutama mereka yang sudah menjadi ibu dan istri. Sebagian suami merasa istri mereka cukup mengurus anak dan rumah, enggan memberi ruang dan waktu bagi istri untuk menuntut ilmu dan berkembang. Padahal, istri yang berwawasan luas tentu akan bisa menjadi teman diskusi yang menyenangkan.

Bangsa ini mungkin memang merdeka dari penjajahan dan perbudakan, tapi sebagian masyarakatnya sejatinya masih belum merdeka. Dan salah satunya adalah perempuan. Saya berharap ada semakin banyak orang di luar sana yang menyadari bahwa dalam rumah tangga perempuan itu bukanlah 'orang nomor dua' yang tidak berhak berpendapat, tidak boleh mengembangkan diri, bahkan tidak diberi ruang untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Karena sejatinya, istri adalah pemimpin di rumah suaminya.

0 komentar:

Posting Komentar