Selasa, 01 Agustus 2023

Siapa yang nggak kenal dengan infeksi tuberkulosis atau yang biasa disingkat dengan TBC ini?

Saya yakin, mayoritas kita sudah tahu soal penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis ini. Infeksi TB pada orang dewasa biasanya akan ditandai dengan batuk lama, demam, dan berat badan yang turun drastis. Tapi, infeksi TB pada anak-anak umumnya bahkan tidak bergejala. Hanya saja, berat badan yang sulit naik bisa menjadi alarm adanya infeksi bakteri ini.

Dan inilah yang terjadi pada anak saya. Kisah awal mula saya menyadari adanya weight faltering pada anak kedua saya ini bisa dibaca di sini, ya!

Positif TB!

Setelah melakukan serangkaian screening adanya infeksi tersembunyi, tibalah hari di mana kami harus mendengarkan hasil dari pemeriksaan laboratorium. Sembari menunggu dipanggil masuk ke poli anak, Maryam dirujuk ke poli radiologi untuk foto thorax. Dan tepat ketika nama anak kami dipanggil, hasil foto thorax juga sudah bisa diambil. Jadi semua hasil pemeriksaan sudah lengkap.

Alhamdulillah, dari hasil pemeriksaan urin dan darah semuanya normal. Sayangnya, hasil pemeriksaan tes mantoux dan foto thorax menunjukkan bahwa ada indikasi infeksi TB. Diameter indurasi atau pembengkakan area yang dilakukan tes mantoux sekitar 15 mm di mana 10mm saja sudah dinyatakan positif.

Foto hanya ilustrasi. Foto asli diambil pake hp lama, nggak tahu file-nya di mana
Foto hanya ilustrasi. Foto asli diambil pake hp lama, nggak tahu file-nya di mana

Lalu, dari hasil foto thorax dan pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya pembengkakan kelenjar. Sampe akhirnya ketika ditotal, skor Maryam waktu itu kalau nggak salah adalah 7. Di manan skor 6 saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis TB pada anak.

Ini tabel scoring TB pada anak

Mencari Second Opinion

Lalu, bagaimana perasaan saya ketika anak saya terdiagnosis TB?

Sejujurnya, saya lega. Akhirnya penyebab yang bikin BB anak saya susah naik ternyata infeksi TB. Jadi ke depannya sudah jelas apa yang perlu saya lakukan. Yaitu mengikuti pengobatan TB rutin selama 6 bulan. Saya benar-benar legowo, sama sekali nggak denial. Tapi ternyata, tidak begitu dengan suami saya.

Keesokan harinya, suami saya ngajak periksa ke dokter spesialis anak yang lain. Mencari second opinion. Saya setuju. Ada baiknya memang berkonsultasi tidak hanya pada satu dokter. Tapi saya nggak berharap dokter kedua bakal bilang bahwa si dokter pertama itu salah diagnosis. Saya benar-benar sudah menerima kalau memang anak saya terinfeksi TB. Dan ternyata benar, dokter spesialis anak yang kedua ini memberikan penjelasan dengan lebih detail pada kami bahwa memang anak kami positif TB. Karena itu, si kakak juga harus dilakukan pemeriksaan.

Maka, Isa juga melakukan rangkaian pemeriksaan yang sama dengan adiknya ketika adiknya sudah memulai pengobatan TB. Dan genap dua pekan setelah Maryam terdiagnosis TB, Isa juga dinyatakan positif TB. Bahkan, menurut dokter, sepertinya Isa yang lebih dulu terinfeksi.

Mulai Pengobatan

Saat memulai pengobatan si adik, saya sama sekali nggak menemukan kendala. Karena dosis obat Maryam sedikit dan dia juga masih bayi, nggak bisa banyak berontak, proses meminumkan obat tiap hari nggak terlalu menyulitkan buat saya. Tapi, semua berubah ketika kami harus berusaha meminumkan obat TB pada si kakak.

Saat terinfeksi, usia Isa sekitar 2,5 tahun. Sudah cukup besar untuk memberontak bahkan memuntahkan obatnya. Maka di sinilah ujian kami. Meminumkan obat TB ke Isa itu susahnya luar biasa. Padahal kami sudah pake OAT (obat anti tuberkulosis) khusus anak, ada rasa manisnya. Diminumin pake pipet, dilepeh. Diminumin pake sendok, disembur. Sampai cara yang paling ekstrem yaitu diminumin langsung satu tablet tanpa digerus.

Begini penampakannya. Dapat gratis dari Puskesmas

Alhamdulillah, ternyata dia lebih bisa begitu. Tapi, nggak berhenti sampai di situ. Semakin lama berat badan Isa semakin naik, maka tentu dosis obat juga akan ditingkatkan. Yang awalnya Isa hanya perlu minum 2 tablet, pada sekitar bulan keempat dia sudah harus minum 3 tablet. Makin susah lah proses meminumkan obat ke Isa.

Alhamdulillah, semua proses pengobatan itu sudah terlewati. Dan selama 6 bulan pengobatan, kami nggak bilang ke siapa-siapa. Tapi kami benar-benar membatasi aktivitas anak-anak untuk tidak bermain sembarangan apalagi bepergian. Mencegah terinfeksi atau tertular penyakit lain, karena tanpa sakit pun mereka sudah harus minum OAT. Saya yang nggak sanggup kalau harus ditambah obat lain T.T

Begitulah... setiap keluarga memiliki ujiannya sendiri-sendiri. Keluarga yang terlihat adem ayem, suami istri baik, anak-anak tumbuh sehat bahagia, finansial stabil, belum tentu tidak memiliki ujian. Hanya saja, mungkin mereka pandai menyembunyikannya.

Oh ya, kalau ada yang bertanya kok bisa kena TB? Apa nggak diimunisasi?

Alhamdulillah, anak-anak kami semua diimunisasi lengkap. Jadi perlu diingat, imunisasi tidak 100% mencegah anak tertular penyakit. Namun, imunisasi dapat mencegah sakit berat, cacat, atau kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Lewat tulisan ini, saya juga ingin mengingatkan, jangan pernah menyepelekan BB anak yang susah naik. Meski cuma 2 kali berturut-turut, apalagi sampai 3 kali berturut-turut kayak saya. Segera periksakan ke dokter spesialis anak. Kalau ternyata cuma perlu perbaikan menu makan, alhamdulillah. Tapi kalau ternyata ada infeksi, tentu perlu segera dapat penanganan yang tepat.

0 komentar:

Posting Komentar